Goindnesia.co – Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, menilai bahwa dalam dua pekan terakhir publik dikejutkan peristiwa-peristiwa dalam tubuh kepolisian. Peristiwa-peristiwa itu menggambarkan bahwa visi PRESISI yang menjadi corak kepemimpinan Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo, belum sepenuhnya dipedomani jajaran Kepolisian, khususnya di tingkat Polres dan Polsek.
Bonar menunjuk peristiwa terkait Brigjen Junior Tumilaar, maraknya tagar #PercumaLaporPolisi, dan pemukulan pedagang perempuan oleh preman dan menjadi tersangka di Deli Serdang, pembiaran mafia tambang di Sulawesi Utara yang menewaskan warga, telah menggenapi berbagai peristiwa sebelumnya, utamanya terkait praktik kriminalisasi.
Menurut Bonar, aktivis yang telah bergelut dengan persoalan HAM sejak akhir 1980-an, visi Presisi adalah gambaran dari tekad Polri untuk melakukan predictive policing yang responsible, transparan dan berkeadilan. Visi ini, kata Bonar, salah satunya diturunkan dalam bentuk pengutamaan restorative justice dalam penanganan perkara pidana tertentu. “Kecuali terkait mafia tambang PT BDL, pada tiga peristiwa lainnya, Mabes Polri telah sigap mengambil langkah konstruktif dengan memberikan perhatian serius dan mengambil alih penanganannya,” kata Bonar dalam rilis yang dikirimkan kepada Jernih.co.
Visi Presisi ini, kata Bonar, tengah mengalami ujian kembali dalam kasus kriminalisasi Ketua Koperasi Petani Sawit Makmur (Kopsa M) dan dua orang petani Sawit di Polres Kampar, Riau. Mereka sedang memperjuangkan hak-hak 997 petani atas tanah yang diduga dirampas oleh perusahaan swasta dan melepas jerat atas utang Rp 150 miliar, akibat kredit pembukaan kebun yang dikelola oknum PTPN V secara tidak akuntabel di masa lalu.
Ujian itu terlihat, kata Bonar, dari gigihnya Polres Kampar mengkriminalisasi petani tetapi abai dan menutup mata atas perusahaan swasta yang beroperasi tanpa izin. PT Langgam Harmuni yang diduga merampas 390 hektare tanah petani berlokasi di pinggir kota dan bisa ditempuh lebih kurang 30 menit dari Mapolda Riau. “Tetapi jajaran Polda Riau dan Polres Kampar membiarkan perusahaan ini beroperasi selama lebih dari 15 tahun tanpa izin usaha perkebunan, yang jelas menghilangkan potensi pajak dan pendapatan negara. Perusahaan perkebunan tanpa izin tersebut juga merupakan tindak pidana umum sebagaimana diatur dalam Pasal 47 (1) dan Pasal 105 UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, yang seharusnya bisa ditindak tanpa aduan,” kata Bonar.
Ia menunjuk bahwa PT. Langgam Harmuni bahkan baru mengurus izin lingkungan pada September 2021 dan juga ditunda pengesahannya karena penolakan masyarakat karena status lahan kebun yang tidak jelas. Tidak adanya izin usaha perkebunan disebabkan patut diduga keras ada masalah di lahan itu, yang terus coba dihilangkan dan ditutupi dengan berjalannya waktu (buying time). “Padahal dengan menyembunyikan dugaan kejahatan dengan memanfaatkan ketentuan daluarsa, justru menimbulkan kejahatan-kejahatan lanjutan lain yang berdampak pada korban yang lemah.”
Alih-alih menjalankan visi PRESISI Polri dan mematuhi perintah Jokowi terkait mafia tanah, Bonar menilai jajaran Polres Kampar justru membabi buta membela PT. Langgam Harmuni dengan mengkriminalisasi petani dengan kasus yang sarat rekayasa.
“Polres Kampar membangkang perintah Kapolri untuk mengutamakan restorative justice atau keadilan restoratif dalam menangani kasus-kasus kemasyarakatan termasuk soal sengketa lahan berkelanjutan,” kata Bonar. Karena itu, menghentikan kriminalisasi atas Ketua Koperasi dan dua orang petani adalah ujian lanjutan bagi visi Presisi Polri. [rls]