M. Azka Gulsyan (Foto :Dokumentasi Pribadi)
Jakarta, goindonesia.co – Beberapa waktu yang lalu, sebuah media massa nasional dalam rubrik urban/metropolitannya menerbitkan artikel tentang kehidupan warga miskin kota yang tinggal di permukiman kumuh pada kolong Jalan Tol Pluit. Artikel tersebut memberikan gambaran yang menarik sekaligus memilukan tentang betapa tidak layaknya kehidupan di permukiman yang terletak di kolong jalan tol itu.
Namun, satu hal yang patut menjadi perhatian dari artikel tersebut adalah ulasannya atas sebuah fenomena: para penghuni permukiman kumuh tersebut meski telah ditertibkan, memilih untuk datang kembali dan menempati lagi permukiman di kolong jalan tol itu. Meski disediakan opsi untuk tinggal di rusunawa yang dianggap lebih layak oleh pemerintah, mereka dengan sukarela justru kembali ke kampung mereka dengan segala “kekumuhannya”.
Apa gerangan yang yang bisa menjelaskan fenomena ini? Mengapa meski telah tersedia opsi permukiman yang lebih layak di rusunawa, mereka tetap kembali datang ke permukiman di kolong tol dengan segala keterbatasan dan ketidaklayakan yang ada?
Lokasi vs Kelayakan
Terdapat studi menarik dari sebuah artikel dalam Jurnal Regional Science and Urban Economics yang barangkali dapat membongkar pemahaman konvensional para pengambil kebijakan atas isu permukiman kumuh.
Selama ini, baik di tingkat kementerian teknis maupun pemerintahan kota, pendekatan yang dominan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut adalah dengan menyiapkan hunian terjangkau yang layak huni (rusunawa, rusunami, rumah subsidi) yang sebagian besar berada di daerah pinggiran kota. Kemudian, warga dari lokasi-lokasi permukiman kumuh direlokasi, baik secara sukarela maupun tidak jarang secara paksa, ke hunian terjangkau tersebut.
Dalam studinya, Celhay dan Undurraga (2022) menemukan bahwa para penghuni permukiman kumuh sesungguhnya lebih memprioritaskan kualitas lokasi ketimbang kelayakan hunian. Masyarakat berpenghasilan rendah perkotaan lebih memilih untuk tinggal di kampung-kampung yang meskipun kumuh dan tidak layak huni, namun memiliki akses geografis yang lebih baik di tengah kota yang membuka peluang partisipasi kerja yang lebih baik.
Dengan kata lain, sebagus apapun hunian-hunian terjangkau disiapkan oleh pemerintah, jika berlokasi jauh dari akses-akses lapangan kerja dan tempat warga mencari penghidupan, maka warga kota berpenghasilan rendah tidak akan mau untuk pindah dan meninggalkan kampung-kampung mereka meskipun kumuh.
Kita sering menyaksikan pada saat warga kampung tidak bersedia untuk direlokasi, pemerintah mengambil jalan pintas dengan cara memaksa –bahkan tidak sedikit menggunakan pendekatan kekerasan di lapangan. Tetapi, sekeras apapun hal tersebut dilakukan, niscaya warga akan terus mencari cara untuk dapat kembali ke kampung-kampung mereka yang dekat dengan akses pekerjaan mereka.
Oleh karena itu, merelokasi paksa warga di permukiman-permukiman kumuh ke rusunawa atau hunian terjangkau lainnya sesungguhnya bukan sebuah pilihan kebijakan yang berkelanjutan (sustainable). Lantas, pendekatan apa yang bisa menjadi alternatifnya?
Penataan dan Partisipasi
Jika memang tujuan dari pemerintah adalah menghilangkan kekumuhan dan menyediakan hunian yang layak huni bagi warga kota berpenghasilan rendah, maka sesungguhnya cara terbaik adalah dengan melakukan penataan hunian maupun infrastruktur penunjang langsung di lokasi yang sama di mana kampung-kampung tersebut berada (in-situ).
Program Community Action Plan – Collaborative Implementation Program (CAP-CIP) dari Pemprov DKI Jakarta dapat menjadi satu rujukan yang baik atas pendekatan ini. Dalam program tersebut, kampung-kampung yang digolongkan kumuh atau sangat kumuh menurut data Badan Pusat Statistik ditata dan dibangunkan berbagai infrastruktur dan utilitas dasar yang diperlukan.
Selama periode 2017 – 2022, total 200 RW telah ditata, dan pada periode 2023 – 2026 direncanakan untuk dilakukan penataan pada 250 RW kumuh lainnya. Tetapi dalam kenyataannya di lapangan, tidak semua kampung yang tergolong kumuh memungkinkan untuk ditata di lokasi. Ada beberapa kondisi yang bisa mendasari hal tersebut, seperti jika telah terbukti secara sah dan meyakinkan melalui proses peradilan yang adil bahwa ada permasalahan lahan di sana.
Contoh lain adalah pada saat berdasarkan kajian yang ilmiah dan independen terbukti permukiman tersebut berada di tempat yang tidak semestinya secara geografis ataupun ekologis (risiko bencana, dampak ekologis). Ataupun situasi-situasi lainnya, yang secara sah dan meyakinkan –bukan berdasarkan pertimbangan sepihak (baca: arbitrary) pemerintah belaka– permukiman tersebut terbukti tidak memungkinkan untuk ditata pada lokasi semula.
Dalam situasi seperti itu, dan ini harus menjadi pilihan terakhir jika opsi penataan di tempat betul-betul tidak memungkinkan, barulah opsi menata di luar lokasi semula (ex-situ) dapat dijalankan. Namun bagaimana caranya agar tidak ada penolakan dari warga kampung, atau agar mereka tidak kembali ke tempatnya semula sebagaimana kasus permukiman kumuh di kolong Jalan Tol Cawang-Pluit di atas? Kuncinya: partisipasi!
Jika pemerintah betul-betul ingin menyelesaikan permasalahan permukiman kumuh (di luar lokasi) secara tuntas dan berkelanjutan, maka warga harus dilibatkan secara sungguh dan setara. Ruang partisipasi harus dibuka penuh dalam proses pengambilan keputusan, penentuan lokasi baru, perencanaan hunian, hingga dalam proses pembangunan hunian terjangkau itu sendiri.
Dengan cara ini, warga dengan kesadaran penuh akan bersedia untuk berpindah dari permukiman kumuh ke hunian yang lebih layak di lokasi alternatif yang disepakati. Serta yang lebih penting, warga tidak akan kembali ke permukiman lamanya yang kumuh, karena keputusan pindah dan menempati huniannya yang baru sepenuhnya mereka terlibat dengan sadar. Bukan dengan cara-cara yang memaksa, apalagi menggunakan kekerasan.
Pengalaman Kampung Bukit Duri
Pemprov DKI Jakarta telah memiliki pengalaman yang sepatutnya dapat dicontoh pula oleh kota-kota lainnya. Warga Kampung Bukit Duri, Jakarta Selatan setelah tidak memungkinkan lagi untuk dilakukan penataan dan pembangunan kembali kampung mereka di lokasi semula, pada akhirnya bersedia untuk berpindah ke lokasi baru di daerah Cakung, Jakarta Timur.
Kampung Bukit Duri adalah korban gusuran pada 2016. Namun setelah pergantian kepemimpinan pada 2017, Pemprov DKI Jakarta mengubah kebijakannya untuk membangunkan kembali kampung mereka dalam bentuk kampung susun yang lebih tertata. Tetapi, situasi teknis di lapangan sudah tidak lagi memungkinkan kampung mereka untuk dibangun dan ditata kembali pada lokasi semula.
Pemprov DKI Jakarta kemudian menjalankan semua proses secara partisipatif; warga dilibatkan penuh dalam proses-proses pengambilan keputusan yang ada. Pemahaman akan situasi di lapangan dan opsi-opsi lokasi alternatif dibahas secara terbuka bersama warga. Segala kekhawatiran, kebutuhan, dan dukungan yang diperlukan warga pada lokasi baru tersebut dibahas bersama. Hingga ujung dari proses ini adalah warga bersepakat dan bersedia untuk berpindah ke lokasi baru.
Kampung susun untuk mereka pun akhirnya terbangun di sana. Dengan proses partisipatif ini, tanpa disertai paksaan, warga berpindah ke hunian barunya pada lokasi yang baru secara sukarela. Tidak terdengar kabar dan tidak terlihat tanda-tanda warga yang telah menghuni hunian baru mereka di Cakung untuk balik kembali ke daerah pemukiman lama mereka di Bukit Duri.
Maka saran untuk para pengambil kebijakan yang berniat menata permukiman kumuh di kolong Jalan Tol Cawang-Pluit, juga untuk kawasan-kawasan lainnya yang menghadapi tantangan serupa: pertama-tama, upayakanlah semaksimal mungkin untuk dilakukan penataan di lokasi.
Namun jika betul-betul tidak memungkinkan untuk ditata di lokasi, maka libatkanlah partisipasi warga secara penuh dalam proses-proses pengambilan keputusannya. Jika tidak, niscaya warga akan terus balik kembali, dan jalan keluar yang berkelanjutan atas permasalahan permukiman kumuh tidak akan pernah tercapai. (***)
*M. Azka Gulsyan alumnus Studi Pembangunan Berkelanjutan dari Universitas Tokyo, @news.detik.com