Jakarta, Goindonesia.co – International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) menyerukan dan mendesak Pemerintah Pusat, untuk memberi perhatian dan melakukan investigasi mendalam, terkait adanya dugaan kriminalisasi kepada dua petani sawit di Kampar, Riau. Dimana mereka dijadikan tersangka akibat menjual hasil kebunnya sendiri.
“Kedua petani tersebut merupakan anggota dari Koperasi Petani Sawit Makmur (KOPSA-M) di Desa Pangkalan Baru, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Riau. Kami mendesak Pemerintah untuk dibentuk Tim Investigasi agar ditemukan fakta dan kebenaran di lapangan,” kata Intan Bedisa Juru Bicara Infid kepada media, Sabtu (09/10/2021) di Jakarta.
Sebelumnya kata Intan sapaan akrabnya, dalam upaya mencari peradilan, KOPSA M telah membuat Surat Terbuka untuk Presiden Joko Widodo. Termasuk juga kepada Menkopolhukam Mahfud MD, Menteri BUMN, Erick Thohir, Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo, dan Jaksa Agung ST. Burhanuddin.
“Pelapor kedua petani tersebut adalah korporasi raksasa dengan omzet mencapai Rp 405 milyar pada 2020, yaitu PT Perkebunan Nusantara V (PTPN). Dua rakyat kecil yang sehari-hari bekerja di kebun versus Badan Usaha Milik Negara, yang pada 2020 mencatatkan laba tertinggi selama 12 tahun terakhir. Terdengar janggal? Sedih, namun begitu faktanya,” ungkap Intan.
Menurutnya, kita tidak boleh menutup mata atas sejumlah konflik lahan antara masyarakat adat dengan perusahaan perkebunan, yang beberapa di antaranya dikelola Badan Usaha Milik Negara (BUMN), seperti PTPN dan Perhutani.
Katanya, dalam surat terbuka yang diterima INFID pada 7 Oktober 2021, KOPSA M menceritakan perjuangannya saat ini untuk pengembalian lahan kebun, yang telah beralih kepemilikan kepada perusahaan-perusahaan swasta melalui proses yang diduga melawan hukum.
“Surat petani tersebut mengungkapkan bahwa, terdapat lebih dari 750 hektar kebun KOPSA M, yang telah beralih kepemilikan. KOPSA M juga menanggung beban utang sebanyak lebih kurang 150 milyar, akibat pembangunan kebun gagal yang dilakukan oleh oknum-oknum PTPN V di masa lalu, tepatnya pada tahun 2003-2006,” ungkap Intan.
Intan juga mengatakan, tidak jarang konflik lahan antara masyarakat adat dan perusahaan terjadi karena ketidakjelasan batas dan hak kepemilikan lahan. Konflik lahan ini memicu permasalahan lainnya, yaitu ketimpangan kesejahteraan.
“Masyarakat sekitar mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan sehari-hari di lokasi usaha perusahaan. Inilah yang kadang sering menimbulkan konflik antara petani dan perusahaan. Namun, kegiatan ini justru disikapi oleh perusahaan sebagai perbuatan melanggar hukum dan diproses melalui mekanisme pidana,” jelasnya.
Selain itu kata Intan, kegiatan usaha PTPN dan Perhutani juga sangat mungkin berdampak pada kehidupan masyarakat sekitar. Kasus tanah longsor di Mandalawangi, Garut, Jawa Barat yang menelan 21 korban jiwa pada 28 Januari 2003 merupakan salah satu contohnya.
“Kasus ini harus dan perlu diproses berkeadilan sejalan dengan kebijakan HAM Indonesia: Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) Tahun 2021-2025,” desaknya.
Katanya, pada RANHAM generasi V ini, pemerintah fokus pada perlindungan dan penghormatan HAM terhadap kelompok rentan yang meliputi perempuan, anak, penyandang disabilitas, dan kelompok masyarakat adat. Bahkan pemerintah sudah membentuk Gugus Tugas Nasional dan Gugus Tugas Daerah yang tugasnya meliputi pengawasan penegakan HAM hingga level daerah.
“Artinya, kasus dugaan kriminalisasi para petani dan konflik lahan di Kampar, Riau ini wajib dikawal ketat untuk menunjukan bahwa RANHAM bukan jargon politik semata,” pintanya.
Lanjutnya, sebagai negara yang turut menyetujui implementasi The United Nations Guiding Principles (UNGPs) mengenai HAM dan Bisnis tahun 2011, Indonesia harus merujuk tiga pilar dalam UNGPs untuk menegakan HAM dalam bisnis.
Pilar pertama adalah kewajiban negara untuk melindungi. Kedua, pilar tanggung jawab korporasi menghormati HAM. Dalam aspek ini, upaya untuk membangun komitmen dan tanggung jawab korporasi sudah mulai dibangun.
Terakhir, pilar pemulihan yang efektif bagi kelompok yang terkena dampak negatif dari kegiatan usaha. Perlu diingat bahwa lemahnya akuntabilitas dan transparansi pengusutan dugaan kasus kriminalisasi petani oleh korporasi ini akan mencerminkan efektifitas penegakan HAM di Indonesia.
“Jika kasus pelanggaran HAM masa lalu belum bisa terpecahkan, setidaknya negara jangan menambah dosa pelanggaran HAM dengan mengabaikan akuntabilitas penegakan HAM dalam bisnis sesuai dengan kaidah-kaidah UNGPs dan RANHAM,” pungkas Intan yang Aktivis Perempuan ini. (Din)