publik

25 persen kaum muda Indonesia pada 2020 tidak produktif

Published

on

Sumber foto: InHarmonia.co

GoIndonesia.co – Banyak di antara kaum muda Indonesia berusia 15-24 tahun yang tidak berkegiatan sama sekali. Mereka tidak sedang menempuh pendidikan, tidak juga bekerja, atau sedang mengikuti pelatihan. Badan Pusat Statistik mengkategorikan mereka sebagai NEET (Not in Employment, Education, or Training).

Yang sangat mengkhawatirkan jumlah mereka terus meningkat. Hal itu terekam dalam publikasi BPS berjudul “Indikator Pekerjaan Layak di Indonesia 2020”. Laporan yang dirilis pada 6 Juli 2021 ini mencatat, angka NEET pada 2020 meningkat sebesar 2,51 persen poin menjadi 24,28 persen.

Artinya, satu dari empat anak muda Indonesia yang berada di usia produktif justru tak melakukan apa-apa. Pada 2019, proporsinya masih 21,77 persen. Proporsi kaum muda perempuan yang masuk kategori ini lebih besar dibandingkan laki-laki, yakni 28,64 persen berbanding 20 persen.

Riset lembaga demografi Universitas Indonesia menunjukkan, kaum perempuan sangat rentan menjadi NEET pada usia muda. Marjinalisasi yang terjadi akibat hukum adat dan atau status sosial mereka dalam lingkungan sosial merupakan beberapa faktor yang mendorong mereka secara “terpaksa” menjadi NEET.

Faktor lain yang cukup berpengaruh menjadikan perempuan menjadi NEET adalah perkawinan pada usia muda. Di banyak tempat, dengan berbagai alasan, jumlah perempuan yang menikah pada usia muda lebih banyak dibandingkan mereka yang melanjutkan pendidikan atau bekerja.

Yang juga membuat miris adalah profil NEET yang cenderung seperti cekungan. Proporsinya tinggi pada mereka yang tidak tamat SD atau hanya bersekolah sampai sekolah dasar. Proporsinya menurun, tapi kemudian menanjak naik. Misalnya, proporsi jumlah NEET lulusan perguruan tinggi naik menjadi hampir 30 persen.

Data tersebut sejalan dengan tingkat pengangguran terbuka (TPT) per Agustus 2020 yang besarnya 7,07 persen, meningkat 1,84 persen poin dibandingkan dengan Agustus 2019. Data BPS menunjukkan TPT pada lulusan perguruan tinggi pada 2020 itu mencapai 7,51 persen, lebih tinggi dari TPT nasional.

Dua data ini seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah untuk memperhatikan mereka. Banyak cara bisa ditempuh, misalnya, mulai dari memberikan bekal keterampilan agar mereka bisa masuk ke dunia kerja, hingga membenahi sistem pendidikan kita agar bisa selaras dengan dunia usaha dan dunia kerja atau yang kita kenal dengan link & match.

Tanpa berbagai upaya tersebut, apa yang dulu sering digembar-gembarkan pemerintah soal bonus demografi bisa berbalik arah dari berkah menjadi bencana. Kehadiran mereka justru menjadi beban di masa datang karena mereka tidak produktif. Pandemi Covid-19 bisa memperparah keadaan karena lapangan kerja baru menyusut dengan cepat. (Ayu Andini)

Trending

Exit mobile version