Politik

Politik Tikungan Terakhir Anies Baswedan

Published

on

Gubernur Anies Baswedan dan mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno

Anies selalu punya strategi jitu dalam melangkah. Pengalaman dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 menunjukkan, justru pada tahap-tahap akhir persaingan politik, ia mampu menyingkirkan lawan-lawan politiknya

Jakarta , goindonesia – Selalu ditempatkan di posisi kedua, setelah Prabowo Subianto, di berbagai hasil survei preferensi publik, tidak berarti menyurutkan langkah politik Anies Baswedan menggapai kursi kekuasaan tertinggi di negeri ini. Ia selalu punya cara jitu dalam memenangkan dirinya.

Tiga tahun jelang Pemilu Presiden 2024 menjadi momentum paling tepat bagi para tokoh calon presiden untuk mengawali strategi perluasan dukungan pemilihnya. Tidak terkecuali bagi Anies Baswedan, yang selama ini sudah menjadi rujukan masyarakat sebagai calon presiden pilihan.

Rekor capaian Anies dari setiap hasil survei tergolong lumayan. Ia mampu menduduki papan atas, setingkat di bawah Prabowo Subianto. Dibandingkan tokoh-tokoh politik yang juga menjadi rujukan calon presiden, seperti Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, dan tokoh-tokoh pesaing segenerasi politiknya, Anies relatif masih teratas.

Akan tetapi, posisi kedua belum sepenuhnya mengamankan langkah politik Anies. Bahkan, jika dicermati, capaiannya itu masih terbilang problematik. Pasalnya, tidak hanya belum mampu melampaui Prabowo, peningkatan dukungan terhadap dirinya relatif tidak menunjukkan perubahan yang signifikan.

Penguasaan pemilih masih dalam kisaran 10 persen dan peningkatan selama ini masih dalam ambang batas margin of error survei, yang sekaligus merujuk pada kondisi yang stabil, tidak bergerak.

Relatif stabilnya proporsi penguasaan pemilih dapat menjadi persoalan. Terlebih, panggung politik yang ia kuasai saat ini sebagai gubernur DKI Jakarta terbilang berskala nasional, yang memungkinkan sosoknya menjadi daya tarik publik secara nasional dan yang tidak dimiliki oleh sosok calon presiden lain yang berlatar belakang kepala daerah.

Dengan membandingkan apa yang terjadi pada Joko Widodo ketika menguasai panggung politik DKI Jakarta, perbedaan itu tampak nyata. Saat Jokowi menjadi gubernur DKI Jakarta tahun 2012, sesaat setelah itu pula sosoknya menempati posisi teratas survei preferensi calon presiden di negeri ini.

Momentum selanjutnya, peningkatan dukungan semakin signifikan terjadi hingga semakin menjaminkannya meraih kursi kepresidenan dalam Pemilu 2014. Mengapa peningkatan popularitas dan dukungan politik semacam itu saat ini belum juga terulang pada sosok Anies?

Sebenarnya dari segi kelengkapan kapital, sebagai suatu modal yang diperlukan dalam penguasaan arena politik, tidak ada yang kurang dalam sosoknya. Secara simbolik, Anies menjadi representasi generasi baru politik yang piawai, dilahirkan dari turunan pejuang negeri ini.

Ia bukan berasal dari rakyat kebanyakan. Kakeknya, Abdurrahman Baswedan (AR Baswedan), memiliki kiprah politik yang panjang. AR Baswedan pernah menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha dan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pernah pula menjadi anggota Parlemen, Dewan Konstituente, hingga menjabat Wakil Menteri Muda Penerangan RI Kabinet Sjahrir III (1946-1947). Pada tahun 2018, kakeknya dinobatkan sebagai pahlawan nasional.

Kapasitas modal budaya Anies pun mumpuni. Jalur pendidikan tinggi yang dilaluinya, tamatan doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, menempatkan Anies sebagai sosok intelektual yang punya perhatian pada persoalan demokrasi dan desentralisasi di negeri ini.

Ia juga terlibat dalam berbagai kegiatan peningkatan kualitas pendidikan masyarakat, melalui gerakan Indonesia Mengajar, hingga menjadi rektor Universitas Paramadina (2007-2015). Perhatiannya dalam dunia pendidikan itu semakin terlengkapi sejalan dengan pengangkatannya sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (2014-2016) dalam kabinet yang dipimpin Presiden Jokowi.

Begitu pula kapasitas modal sosialnya terbilang luas. Semenjak menggeluti dunia pendidikan menengah, ia telah menjalin beragam relasi dalam kegiatan pelajar. Menjadi semakin luas tatkala bangku kemahasiswaan dilaluinya dengan beragam jaringan aktivisme, seperti Badan Eksekutif Mahasiswa UGM serta Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Sejalan dengan perkembangan karier pendidikannya, jaringan-jaringan sosialnya pun semakin luas hingga mengglobal. Ia berelasi dengan kalangan intelektual, kalangan pendidikan, hingga aktivisme gerakan sosial keagamaan.

Dalam dunia politik, walaupun sejauh ini belum tampak keterikatannya dalam partai politik, tidak berarti Anies menjauh dari partai. Pada konvensi calon presiden Partai Demokrat (2013), ia mendaftar dan termasuk 11 tokoh peserta konvensi. Begitu pula pada partai-partai politik lainnya, seperti PKS dan Gerindra yang sejak awal mengusungnya jadi calon gubernur dalam Pilkada DKI 2017.

Hingga saat ini, relasi Anies dengan partai politik tetap terjaga. Pada kesempatan yang sama, para simpatisan dari partai-partai politik tersebut pun masih merujuknya sebagai calon presiden pilihan. Hasil survei pada bulan April 2021, misalnya, menunjukkan dukungan pemilih terhadap Anies lebih banyak terjadi pada responden yang mengaku juga memilih PKS dalam pemilu lalu. Dalam jumlah yang relatif signifikan, dukungan juga diperoleh selanjutnya dari mereka yang mengaku memilih Demokrat, Gerindra, dan PAN.

Namun, hasil survei tersebut juga menggambarkan sosok Anies yang dipilih kurang proporsional pada beberapa latar belakang sosial masyarakat. Para pemilihnya cenderung berasal dari kelompok elite masyarakat. Dari sisi latar belakang pendidikan, misalnya, Anies cenderung diminati kalangan berpendidikan tinggi. Padahal, bagian terbesar masyarakat masih bertumpu pada kalangan berpendidikan menengah ke bawah.

Begitu pula dari segi demografi usia, kelompok usia produktif (24-40 tahun) menjadi kekuatan bagi dirinya. Lebih khusus lagi, terkonsentrasi pada kalangan generasi milenial usia 22-30 tahun. Sementara dari sisi jenis kelamin lebih terkonsentrasi pada laki-laki. Dalam pemilahan domisili Jawa-luar Jawa, masih cenderung lebih besar dipilih oleh responden yang bermukim di luar Jawa, khususnya Sumatera seperti Aceh, Sumbar, Riau, dan Lampung. Sementara di Pulau Jawa, para pemilihnya lebih terkonsentrasi di Jawa Barat.

Terhadap identitas sosial lainnya, seperti keagamaan, sejauh ini para pemilih Anies memang terkonsentrasi pada kalangan beragama Islam. Pemilih yang mengaku beragama selain Islam cenderung minim, kurang proporsinya dari gambaran nasional. Sebaliknya, jika ditelusuri lebih jauh pada kalangan yang mengaku beragama Islam, juga terdapat kecenderungan proporsi dari mereka yang mengaku berafiliasi selain pada Nahdlatul Ulama, relatif lebih banyak memilih Anies.

Dengan kecenderungan distribusi para pemilihnya yang belum proporsional tersebut, sekaligus menunjukkan masih terbuka ruang-ruang penaklukan bagi Anies. Dapat disimpulkan bahwa para pemilihnya saat ini tergolong kalangan yang memang menjadi basis pendukung loyal pada dirinya.

Akan tetapi, bersandar pada hanya basis pendukung loyalnya tampaknya masih kurang menjamin kemenangan bakal mudah ia raih. Ia harus melebarkan penetrasi dukungan kepada para pemilih di luar basis loyalnya. Inilah persoalan krusial yang perlu ia tuntaskan.

Sayangnya, kesempatan memperluas pengaruh politik dalam panggung politik yang ia miliki saat ini sudah semakin terbatas. Bagaimanapun posisinya sebagai gubernur DKI akan berakhir hingga 2022. Tidak ada kesempatan baginya untuk melanjutkan jabatan hingga Pilkada DKI yang dilakukan serentak pada tahun 2024. Selepas menjadi gubernur, belum tampak jelas benar orientasi politiknya tertuju yang sekaligus dapat memperkuat basis dukungan terhadap dirinya.

Namun, dalam situasi yang kurang mendukung tersebut, tidak juga berarti kemenangan semakin jauh dari jangkauannya. Anies selalu punya strategi jitu dalam melangkah. Bukankah pengalaman dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 menunjukkan, justru pada tahap-tahap akhir persaingan politik, ia justru mampu menyingkirkan lawan-lawan politiknya?

Pada Pilkada DKI Jakarta 2017, semenjak awal persaingan, Anies bersama pasangannya, Sandiaga Uno, selalu ditempatkan di posisi akhir di bawah proporsi dukungan terhadap Ahok-Djarot dan Agus-Sylvi. Survei yang dilakukan Litbang Kompas pada bulan Desember 2016, misalnya, Anies-Sandi hanya mampu menguasai dukungan 19,5 persen.

Proporsi tersebut hanya separuh bagian dari pasangan Agus-Sylvi yang mampu mengumpulkan hingga 37,1 persen. Begitu pula masih di bawah capaian Ahok-Djarot, yang saat itu mengumpulkan 33 persen.

Survei berikutnya, dalam waktu dua bulan (Februari 2017), dukungan terhadap Anies-Sandi meningkat. Mereka mampu meraih 28,5 persen dan bersaing ketat dengan Agus-Sylvi (28,5 persen). Sementara pasangan Ahok-Djarot saat itu mampu memuncaki persaingan dengan dukungan 36,2 persen.

Posisi tersebut dapat dipertahankan hingga pilkada sekaligus menempatkan Ahok-Djarot (42,9 persen) dan Anies-Sandi (39,9 persen) melaju pada tahap kedua pilkada.

Pada Pilkada DKI tahap kedua (19 April 2017), langkah Anies-Sandi semakin tidak terbendung. Mereka tampaknya memahami bahwa potensi dukungan terbuka lebar. Sementara sebaliknya, bagi pasangan Ahok-Djarot, dukungan tidak lagi mungkin beranjak. Pasalnya, semua terkait dengan kekuatan identitas, khususnya penguatan identitas keagamaan dan etnisitas, yang kental mewarnai kontestasi politik. Titik lemah inilah yang menghambat penetrasi lawan dan sebaliknya memuluskan langkah-langkah penguasaan politiknya.

Dalam pilkada yang cenderung berlangsung emosional tersebut, terbukti Anies-Sandi mampu menghimpun dukungan lebih besar lagi. Dengan strategi yang dilakukan, basis pendukungnya yang sebelumnya terkonsentrasi di kalangan lapisan elite perkotaan berkembang menjadi semakin luas hingga kalangan menengah bawah perkotaan dan dipersatukan dalam kesamaan identitas.

Para pemilih, yang sebelumnya menjadi pendukung Agus-Sylvi, pada tahap kedua pilkada beralih kepada Anies-Sandi. Ia mampu menyalip pesaingnya di tikungan terakhir pilkada. Tidak kurang dari 57,9 persen dukungan ia raih meninggalkan jauh lawan politiknya, Ahok-Djarot (42,0 persen).

Mengejutkan memang, bagaimana Anies yang semula diposisikan di urutan terbawah nyatanya mampu menjadi pemenang. Itulah mengapa, bukan perkara yang mustahil pula jika catatan karier politik gemilang Anies ini bakal terulang. (Dikutip dari LITBANG KOMPAS)

.

Trending

Exit mobile version