Foto : Ahmad Adib Zain /Instagram @ahmadadibzain
Jakarta, goindonesia.co – Ini kisah disebuah negara di benua “Atlantis”, ada pejabat negara dan anggota parlemennya meminta pelaksanaan pemilihan umum di negara itu diundurkan dengan berbagai alasan dan data; adanya permintaan pengusaha, permintaan petani, alasan pandemi sampai dengan alasan ekonomi serta perang dinegara antah-berantah, membawa gaduh nasional di jagad maya dan di dunia nyata, serta sudah mulai pula terjadi unjuk rasa dan unjuk kuasa. Gawat…
Pemilihan umum itu kewenangan salah satu lembaga negara yang diluar dari lingkup kerja mereka tadi itu, tetapi beraninya minta ditunda atau sebutlah ikut-ikut membuat “gara-gara”, penyulut kekalutan rakyat dan ketidakpastian masa depan “pesta demokrasi” sebagai wujud kedaulatan rakyat disana. Sekali dalam lima tahun harus dilaksanakan sebagaimana konstitusi negara itu mengamanatkan kepada penyelenggara pemilihan umumnya, bukan kepada mereka yang bergaduh itu.
Pejabat negara itu harusnya tahu tugas pokok, fungsi dan kewenangannya masing-masing; jangan memakai “banyak kaki” dan kesempatan untuk bicara banyak hal yang bukan wilayah kerjanya. Bayangkan kalau setiap pejabat bisa mencampuri segala urusan dalam negara itu akan menimbulkan kekacauan, saya yakini bahwa awal dari malapetaka… Yang berhak bicara pemilihan umum ditunda itu yang mempunyai kedaulatan, yaitu rakyat bukan pejabat. Pejabat itu yang harusnya mendukung terlaksana “pesta” lima tahunan rakyatnya, jangan menghambat.
Ketua partai disana ada yang memiliki anggota di parlemen negara pun, jangan bicara menunda pemilihan umum di luar gedung parlemen, apalagi mereka adalah juga anggota parlemen; lakukan usulan baik-baik mengikuti mekanisme dan prosedur majelis tinggi negaramu, senator atau perwakilan rakyat yang sah didalam sistem ketatanegaraan negaramu, itu barulah kalian semua beretika dan beradab.
Silakan lakukan amandemen konstitusi negaramu, untuk banyak hal yang memang sudah dikaji. Untuk menunda pemilihan umum, rasanya tidak ada masalah serius, seperti; kekacauan meluas atau darurat sipil. Bisa jadi pemilihan umum ditunda karena sebab pandemi, dimana terjadi “perintah berkurung” seluruh negeri
Bencana alam meluluh lantahkan, perang besar dimana komisi pemilihan umum tidak bisa bekerja, atau negaramu tidak punya uang? lebih dari itu hanya referendum, jajak pendapat umum yang bisa menunda hajat rakyatmu. Bukan konsensus apalagi dekrit kepala negaranya, karena itu akan mendapat perlawanan rakyatmu. Terlalu besar risikonya kepada stabilitas negara yang sedang susah.
Kembali ke pangkal cerita, sangat mulia jika tidak membuat gara-gara. Pemilihan umum dimanapun itu untuk tidak membuat gaduh, membuat rakyat gembira seperti cuplikan syair lagu pemilihan umum negaramu zaman dahoeloe. Mungkin waktunya disimak kembali syairnya… “pemilihan umum telah memanggil kita, seluruh rakyat menyambut gembira, hak demokrasi pancasila”… Yang selalu diperdengarkan dan dipertontonkan melalui siaran radio dan televisi di negaramu.
Kalau dinegaramu “spy” masih berwenang seperti doeloe, nampaknya ada yang sudah dikurung karena tuduhan melawan negara. Jika mau belajar dari negara “tirai bambu” seperti kata agama sebagian besar rakyatmu : “tuntutlah ilmu walau sampai kenegeri Cn” jangan tanggung-tanggung, atau mau meniru kerja “paman sam” pun jangan setengah hati, atau merasa punya “pancasila” jangan pula jadi suka-suka. Disana kejahatan melawan negara, bisa mati atau dikurung seumur hidup.
Mengapa disebut melawan negaramu, baca saja konstitusi, undang-undang dan rencana program serta kegiatan pemilihan umum di negaramu. Semua sudah siap, sesuai jadwal yang disusun oleh lembaga yang berwenang, bukan kamu, bukan urusanmu. Jadi kamu itu bermaksud menggagalkan kerja dari lembaga negara yang hasilnya kamu menjadi parlemen, senator dan pejabat di negaramu? Rakyat mu akan melawan dengan “people power” begitu gertak aktivis dan pimpinan buruh dinegaramu. Ingat pepatah, jangan : “karena nila setitik, rusak susu sebelanga”. (***)
Penulis : Ahmad Adib Zain