Opini
“Matilah Kau UU Pers”
Published
2 years agoon
By
goindonesia1Hendry Ch Bangun (Foto : Istimewa)
Oleh : Hendry Ch Bangun
Jakarta, goindonesia.co – Matilah kau Undang-Undang Pers. Begitulah kira-kira ucapan Anak Medan, kalau ditanya apa akibat tidak langsung dengan disahkannya UU KUHP di Dewan Perwakilan Rakyat RI, Jakarta, Selasa (6\/12).
Undang-Undang Hukum Pidana yang mulai diberlakukan pemerintah kolonial Belanda sejak 1918 itu, sudah berusaha diubah dan disesuaikan dengan lepasnya Indonesia dari penjajahan sejak era Presiden Soekarno tahun 1960.
Tetapi bukannya ke arah kedaulatan rakyat sebuah negara merdeka, bau-bau kolonialnya justru masih terasa. Pemerintah menganggap rakyat yang berbeda pendapat, menyampaikan pendapat kritis yang tidak sejalan dengan kekuasaan, sebagai musuh sebagaimana dulu Belanda memperlakukan para pejuang pro kemerdekaan.
Pemerintah bilang pengesahan ini adalah dekolonisasi (mungkin maksudnya dekolonialisasi), sebaliknya masyarakat pers dan pegiat HAM menyebut, UU KUHP yang baru malah rekolonisasi.
Penghinaan terhadap pimpinan negara, lembaga negara, lambang dan simbol negara, dianggap upaya untuk delegitimasi pemerintah, dan dijatuhi hukuman pidana denda atau sanksi pidana. Celakanya pers menjadi collateral damage, terkena efek samping dari upaya pemerintah menjaga stabilitas.
Dewan Pers sampai detik-detik terakhir sebelum UU KUHP disahkan, berupaya semaksimal mungkin agar pengesahan ditunda karena ada cacat, khususnya terkait UU No. 40 tentang Pers, yang lahir dengan semangat reformasi, setelah sekian puluh tahun dikangkangi Soeharto.
Saya rinci di bawah ini, ada sembilan kluster yang dianggap menghambat kemerdekaan pers 2014 yakni, kegiatan menyiarkan berita sebagai tindakan yang dapat dipidanakan 2013, agar pembaca mendapatkan rujukan selengkapnya.
Pasal 188 tentang Tindak Pidana terhadap ideologi negara.
Pasal 218-220 tentang Tindak Pidana Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden, karena merupakan wujud ketentuan penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam KUHP yang sudah dicabut Mahkamah Konstitusi berdasarkan Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006.
Pasal 240 dan 241 tentang Tindak Pidana Penghinaan Pemerintahan yang Sah, serta Pasal 246 dan 248 (penghasutan untuk melawan pengusaha hukum) karena ada kata penghinaan dan hasutan yang bersifat karet.
Pasal 263 dan 264 Tindak Pidana Penyiaran dan Penyebarluasan Berita atau Pemberitahuan Bohong.
Pasal 280 Tindak Pidana Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan.
Pasal 302-304 Tindak Pidana terhadap Agama dan Kepercayaan. Pasal 351-352 Tindak Pidana terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara.
Pasal 440 Tindak Pidana Penghinaan: pencemaran nama baik.
Pasal 437, 443 Tindak Pidana Pencemaran. Ketika Undang-Undang Pers diberlakukan tujuan utamanya adalah untuk menghancurkan kegelapan dan kesewenang-wenangan Orde Baru dalam menjalankan pemerintahan, memberantas Korupsi, Kolusi, Nepotisme oleh Soeharto dan keluarganya dan rezimnya. Pers tidak takut lagi melakukan kontrol atas lembaga dan penyelenggaraan negara, mengkritik penyelenggara negara yang menyeleweng, proses pembangunan yang asal-asalan, penganggaran yang tidak akuntabel dsb.
Sejauh produk jurnalistiknya dihasilkan secara profesinal, sesuai Kode Etik Jurnalistik, tidak ada masalah. Kalau dianggap melanggar pers wajib memberikan hak jawab, atau melakukan ralat, atau meminta maaf kepada pihak yang dirugikan atau ke masyarakat.
Tetapi sekarang, rambu-rambu di UU Pers, Kode Etik Jurnalistik, dan berbagai aturan hasil dari swaregulasi, seperti ditendang ke got oleh UU KUHP.
Di dalam poin menimbang, butir a dan b, jelas sekali bagaimana kedudukan UU Pers sebagai perwujudan dari Pasal 28 UUD 1945.
Bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 harus dijamin.
Bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa UU KUHP siap-siap menerkam pers yang menyampaikan informasi di satu sisi dan memidanakan masyarakat yang menyatakan pikiran dan pendapat sesuai hati nurani, dan memperoleh hak untuk mendapatkan informasi.
Kalau ada demonstrasi menyampaikan pendapat yang dianggap menghina pemerintah atau pejabat atau lembaga, posisi pendemo dalam ancaman, begitu pula pers yang memberitakan dalam bentuk visual, suara, ataupun tulisan. Padahal dalam UU Pers dijelaskan peranan dan fungsi pers.
Di Pasal 6 UU Pers, dikatakan, Pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut, memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.
Pers akan kerepotan apabila melakukan liputan atas promosi doktor, diskusi, seminar, terkait dengan ideologi, yang dianggap bertentangan dengan ideologi negara, meskipun itu sejatinya demi kepentingan ilmu pengetahuan.
Beritanya akan berpotensi menjadi pidana penjara 4 tahun, padahal wartawan menjalankannya sebagai bagian dari tugas pers. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 UU Pers, untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Media-media di daerah yang kerap melakukan kontrol sosial atas proses pembangunan di wilayahnya mendapat ancaman yang nyata, ketika itu nanti dianggap sebagai bagian dari delegitimasi pemerintah atau pejabat pelaksananya.
Apakah pemberitaan jembatan yang rusak walau baru sebulan diresmikan, gedung sekolah yang ambruk padahal baru dibangun, jalan yang dibangun tidak sesuai spesifikasi, pejabat yang menyunat anggaran, kepala sekolah yang memungut di luar ketentuan, penentuan pejabat yang didasari suap, menjadi pintu masuk penjara bagi wartawan.
Bisa jadi meski wartawan menjalankan tugasnya sesuai dengan apa yang ditulis di Pasal 6 UU Pers, yakni. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Yang juga perlu mendapat perhatian dan disikapi dengan hati-hati oleh wartawan adalah perihal penyiaran berita bohong. Dari sisi Kode Etik Jurnalistik, informasi yang sudah dikonfirmasi dari sumber yang tepat sudah dianggap informasi yang benar, tetapi bisa jadi menjadi berita bohong apabila dianggap merongrong kewibawaan lembaga, institusi.
Dewan Pers pernah mendapat pengaduan dari sebuah media di Jawa Tengah, yang dicap telah membuat berita hoaks oleh sebuah rumah sakit, padahal berita yang dibuat berdasarkan keterangan dari sumber yang jelas.
Berita mereka dicap hoax oleh lembaga kepolisian setempat, yang jelas menjatuhkan kredibilitas media karena sudah melakukan proses pemberitaan sesuai kaidah jurnalistik. Di dalam UU KUHP yang baru, status itu malah bisa berujung pidana penjara.
Dalam Nota Kesepahaman (MoU) Kepolisian RI dan Dewan Pers, yang berhak menetapkan sebuah berita adalah karya jurnalistik atau bukan, mestinya Dewan Pers, melalui proses pemanggilan kedua pihak yang merasa dirugikan dan penyelenggara media. Apakah ini masih berguna atau tidak apabila sudah ada pasal yang menjadikannya kasus pidana.
Upaya untuk melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi pastilah dilakukan oleh kita semua sebagai bagian dari masyarakat pers, agar pasal-pasal yang menghambat kemerdekaan pers, yang bertentangan dengan Pasal 28 UUD 45, dihapus.
Unjuk rasa pegiat pers, pegiat HAM, warga kampus, juga mungkin akan jalan terus walau tidak bakal mengubah apapun. Tetapi kalau itu tidak ditunjukkan, keadaan bakal dianggap baik-baik saja.
Tetapi yang mengherankan, kemana akal sehat dari para ahli yang merumuskan pasal-pasal yang anti-reformasi tersebut.
Apakah mereka masih merasa hidup di zaman Orde Baru?
Atau apakah merasa pers sudah menjadi penghambat penyelanggaraan pemerintah yang katanya demokratis sehingga kita selalu disebut negara demokrasi ketiga terbesar di dunia setelah India dan Amerika Serikat?
Dimanakah nurani para ahli yang berasal dari kampus, yang selalu mendengung-dengungkan kebebasan akademis, kemerdekaan berpendapat?
Marilah kita bersama-sama membela kemerdekaan pers, dengan seksama, sampai kapanpun, tetap lurus sekalipun bumi runtuh. (***)
You may like
Ahmad Doli Kurnia Tanjung.Foto/Dok SINDO
Ahmad Doli Kurnia Tanjung Ketua Komisi II DPR RI…
Jakarta, goindonesia.co – Indonesia pada Maret ini kedatangan group K-Pop dunia asal Korea Selatan, Blackpink. Rasanya tak ada kaum Milenial maupun Gen-Z yang tidak kenal dengan group ini. Antusiasme ditunjukkan Blink dengan konser kali ini, di mana tiket konser di Gelora Bung Karno, 11 Maret, sold out pada November lalu.
Tak hanya di Indonesia, gempuran K-Pop juga melanda dunia, menjadi virus global. Sepintas tak ada yang salah jika kaum muda Indonesia mengidolakan Blackpink, BTS, atau group musik dari negara mana pun. Mereka punya pilihan. Namun di saat yang sama, sebagai bagian dari anak bangsa, kita harus mendorong agar generasi muda mencintai karya anak bangsa.
Entah kebetulan atau tidak, di tengah tsunami musik Korea, tidak ada group musik milenial lokal yang cukup menggema. Kita pernah memiliki banyak group band legend, semisal Slank, Dewa-19, Noah, Gigi, Mahadewi, sampai BIP. Namun, mereka semua berasal dari generasi 1980-an sampai 2000-an awal.
Selepas itu tidak ada band ikonik yang bisa bersaing dengan penyanyi-penyanyi dari luar negeri. Di sini perlu digaris bawahi bahwa kita tidak sedang membangun nasionalisme sempit atauxenophobia. Yang ingin kita dorong, behaviour anak muda untuk mengenal, memahami dan mencintai musik nasional.
Dalam jangka panjang, dengan mencintai musik sendiri, maka kebanggaan kepada karya anak bangsa akan membuncah. Itulah salah satu aktualisasi spirit nasionalisme di era modern.
Hubungan musik dan politik tidak terpisahkan, begitu sejarah menulis. Setidaknya itu terlihat dari karya-karya Ismail Marzuki yang menggugah rasa nasionalisme kita. Lagu Gugur Bunga, Rayuan Pulau Kelapa, Juwita Malam, Indonesia Pusaka, dan masih banyak lagi, seolah menegaskan bahwa musik bisa menjadi media propaganda untuk membangun apa yang disebut Bennedic Anderson sebagai Imaginer Community. Suatu kondisi yang membuat kita di Aceh sampai Papua—yang jaraknya sama dengan Istambul ke London, belasan negara di Eropa— namun seolah sangat dekat sebagai sesama anak Indonesia.
Tentu saja kita tidak memaksa anak-anak muda meng-copy apa yang dilakukan Taufik Ismail. Tantangan setiap zaman tentu berbeda. Namun ada satu yang (selalu) sama, benang merahnya, bahwa lagu dan musik bisa menginspirasi dan meningkatkan rasa kebangsaan, kapanpun.
Propaganda
Sebagaimana ditulis oleh Sastropoetro (1983) bahwa musik atau lagu-lagu perjuangan digunakan sebagai alat komunikasi massa untuk melawan propaganda musuh. Saat revolusi kemerdekaan, Jepang melancarkan propaganda melalui lagu-lagu patriotik yang mendukung kebijakan kolonialisme mereka di Asia.
Setelah janji-janji Jepang tak dipenuhi, para seniman tanah air melawan dengan memproduksi lagu-lagu patriotik, yang kita kenal dan kenang sampai sekarang. Saking pentingnya peran para seniman dalam propaganda dan perjuangan kemerdekaan, Soedarsono dalam bukunya “Seni Pertunjukan di Era Globalisasi”, 1998, menyebut mereka sebagai art of participation. Atau seni melibatkan diri dalam perjuangan.
Lalu bagaimana cara mentransfer semangat musik perjuangan tersebut di era kini yang tentu saja dengan tantangan berbeda?
Pertama, stakeholders industri musik harus memikirkan bagaimana caranya membuat musik lokal, musisi dalam negeri menjadi tuan di negeri ini. Tak bisa kita berhenti dan meratapi nasib.
Pemerintah harus membantu, namun leading sector dalam kegiatan kreatif menjadi domain para musisi dan industri musik. Meski kita risau dengan dominasi K-Pop di dunia, namun kita juga perlu belajar dari mereka. Khususnya terkait metode menciptakan ikon musik populer di era modern melalui cara yang benar, bertahap, bukan sim-salabim.
Dari pengamatan penulis beberapa kali ke negeri Gingseng tersebut, tempaan untuk para artis dan musisi di sana sangat ketat, bahkan bisa dikatakan mendekati semi-militer. Tidak ada musisi atau penyanyi yang ujug-ujug tampil dan terkenal. Semua berjuang dari bawah dengan kompetisi ketat, dengan produk akhir menghasilkan karya-karya besar. Tak heran K-Pop bahkan bisa merajai hingga ke Eropa dan AS, negara yang puluhan tahun menjadi kiblat musik dunia.
Kedua, setelah ikon musik terlahir kembali, kita bisa memanfaatkan previledge tersebut lalu mengisinya dengan pesan-pesan Pancasila, Kebhinekaan, Religiusitas, dan Kebangsaan, melalui pendekatan kekinian. Cara dan metode dalam koteks ini penting, karena kita harus beradaptasi dengan perkembangan dan perubahan.
Nilai-nilai Pancasila tidak mungkin “didakwahkan” dengan metode old school ala Penataran P-4, karena memang zamannya sudah berubah. Penulis awalnya tidak percaya Pancasila bisa disampaikan dengan cara yang ringan. Selama ini stereotype ideologi negara cenderung dipahami sebagai sesuatu yang formal, bahkan mistik.
Padahal dunia sudah bergerak jauh, seperti Hollywood, Bollywood, K-Pop dan Drakor yang menjual nasionalisme dengan sentuhan baru. Sentuhan nge-pop, rock and roll, bahkan jumping.
Kaum Muda Adalah Masa Depan
Ketiga, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan lembaga terkait harus memompa proses ini agar lebih cepat mengembang. Dalam konteks ini, pengalaman penulis bersama BPIP, kami mencoba mengubah cara pandang budaya menggunakan kaca mata yang lebih lebar. Budaya bangsa adiluhur tidak melulu dimaknai kebudayaan klasik dan tradisional, melainkan juga menyentuh budaya pop yang dekat dengan anak muda.
Kita bahkan memodifikasi “harta karun local wisdom”, baik wayang, produk buaya, pertunjukan, lagu maupun musik dengan sentuhan baru yang relate dengan anak muda. Mengapa kaum muda di tulisan ini selalu diulang untuk kita mention? Tak lain karena merekalah masa depan negeri ini.
Kekuatan musik dalam mengubah kondisi di masyarakat (social change) juga diakui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sehingga musik digunakan sebagai media akselerasi 17 tujuan dalam Sustainable Development Goals (SDGs). Sebagaimana disampaikan oleh Dr. Natalia Kanem, Executive Director of the United Nations Population Fund, bahwa, “Music is a wonderful medium to raise awareness about our collective quest for peace, justice, equality and dignity – the noble ideals of the United Nations. It is a powerful, unifying language that can help build bridges and advance social justice in all of its forms”.
Musik adalah media yang luar biasa untuk meningkatkan kesadaran tentang pencarian kolektif kita akan perdamaian, keadilan, kesetaraan, dan martabat. Di mana itu semua adalah tujuan yang ingin dicapai oleh PBB. Musik juga merupakan bahasa pemersatu yang kuat, yang dapat membantu membangun jembatan dan memajukan keadilan sosial dalam segala bentuknya.
“You may say I’m a dreamer…. But I’m not the only one……… I hope someday you’ll join us…….. And the world will live as one”, itulah lirik penutup di lagu Imagine yang dinyanyikan John Lennon. Melalui musik, kita bisa membangun kesadaran baru, perilaku baru, masyarakat baru, dan akhirnya peradaban baru. Selamat Hari Musik!
*Ahmad Doli Kurnia Tanjung Ketua Komisi II DPR RI, Penggagas Sinergi for Indonesia
Opini
Artificial Intellegence ChatGPT Sebagai Tantangan Baru Jurnalistik
Published
2 years agoon
29 December, 2022By
goindonesia1Delianur (Wakil Ketua Umum Serikat Media Siber Indonesia /SMSI Pusat) (Foto : Istimewa)
Oleh: Delianur (Wakil Ketua Umum Serikat Media Siber Indonesia /SMSI Pusat)
Jakarta, goindonesia.co – Revolusi yang merubah kehidupan manusia pada dasarnya dimulai pada 1776 ketika James Watt menemukan mesin uap.
Diantara efek temuan mesin uap ketika kapal laut bisa berlayar 24 jam menggantikan otot manusia. Berlayar menjadi lebih cepat dan lebih mudah sehingga imperialisme global pun bisa melebarkan sayapnya dengan cepat.
Setelah itu revolusi kehidupan manusia berlanjut ketika Thomas Alfa Edison menemukan listrik. Energi baru yang lebih bersih dan dan ramah lingkungan sehingga industri bisa bergerak lebih cepat.
Perubahan berlanjut ketika manusia menemukan komputer dan robot. Sebuah mesin yang bisa bergerak secara otomatis. Komputer dan robot, bukan hanya menggantikan otot manusia, tapi juga otak manusia.
Setelah itu, kehidupan manusia berubah dikarenakan munculnya teknologi siber. Sebuah era dimana pertukaran data (Big Data) yang menghasilkan teknologi cerdas
Begitulah kira-kira paparan Working Group on Industri 4.0 bentukan pemerintah Federal Jerman. Sebuah kelompok kerja yang bertugas untuk mempetakan dan merumuskan strategi industri kedepan.
Paparan Working Group inilah yang kemudian menjadi bahan pijakan berbagai negara dalam merumuskan kebijakan pengembangan industrinya. Diantaranya adalah Indonesia.
Bila insan pers menjadikan paparan di atas sebagai salah satu rujukan, maka kita akan menemukan betapa insan pers selalu menghadapi tantangan dan ancaman dalam setiap fasenya.
Namun insan pers selalu menghadapi semuanya dengan cara kreatif. Meski awalnya mengancam, namun dinamika di setiap fase bukan hanya memperkuat kerja-kerja jurnalistik tapi juga membuat pola baru kerja jurnalistik.
Kita umpamakan saja masa ketika listrik menjadi sumber energi utama. Listrik mungkin menghasilkan Radio dan Televisi sebagai kompetitor baru media cetak. Namun listrik juga yang mengakselarasi kerja media cetak yang awalnya mencetak hanya berdasar pada temuan mesin cetak Guttenberg.
Pada satu sisi listrik mungkin bisa mengakselarasi industri media cetak yang memproduksi tulisan melalui mesin Guttenberg. Bahkan pada akhirnya dua jenis media ini bisa berjalan beriringan di mana masing-masing mempunyai pasar tersendiri.
Begitu juga ketika manusia memasuki fase komputerisasi (Industri 3.0) Era ini mungkin tidak melahirkan media baru, tetapi berhasil memperkuat cara kerja media cetak dan elektronik.
Proses menulis, mencetak berita, membuat program media elektronik sangat terbantu dengan adanya komputer. Ketika komputer berkonvergensi dengan internet, insan pers juga menghadapi masa ini dengan lincah dengan melahirkan media online.
Namun situasi berbeda ketika kita memasuki era Industri 4.0 atau era yang sedang kita hadapi sekarang. Pada era berdasar sistem otomatis, Internet of Think dan Machine Learning ini, Pers sepertinya masih gelagapan mencari cara untuk menghadapinya.
Transformasi digital yang menjadi keharusan di era ini, belum bisa dilakukan dengan baik. Mungkin bila kita lihat semuanya dalam dimensi waktu, maka kita masih di era-era awal menghadapi transformasi digital. Era yang bukan hanya sangat menyulitkan, tapi juga sangat menentukan.
Untuk mengetahui terjadinya transformasi digital pada fase ini, kita mungkin bisa melihat dengan apa yang terjadi di bidang transportasi dan akomodasi. Pada era ini kita melihat munculnya perusahaan-perusahaan seperti Uber, AliBaba, Airbnb.
Perusahaan yang tiba-tiba besar padahal tidak memiliki infrastuktur bisnis sepadan seperti biasanya. Bila Uber adalah perusahaan taksi terbesar tanpa memiliki kendaraan, maka Ali Baba adalah retailer terbesar tapi tidak memiliki gudang penyimpanan (inventory). Begitu juga dengan Airbnb sebagai perusahaan akomodasi terbesar tapi tidak mempunyai real estate sendiri.
Seirama dengan yang terjadi di dunia transportasi dan akomodasi, hal yang sama juga terjadi di media. Pada era ini juga media mendapat kompetitor baru yang lebih gigantik yang juga tidak mempunyai karya jurnalistik seperti media, yaitu digital platform.
Mereka bekerja layaknya media, tapi tidak pernah melakukan kerja-kerja jurnalistik seperti media. Digital platform seperti Google, Facebook adalah perusahaan media dan perusahaan periklanan terbesar dunia, tapi tidak pernah memproduksi konten seperti yang dilakukan media.
Situasi ini bukan hanya dialami di Indonesia yang mendorong Dewan Pers membuat Task Force Media Sustainability, namun juga dialami di negara-negara lain.
Namun seperti yang disampaikan sebelumnya, ini baru tahap awal tantangan di era siber. Digital Platform baru diantara tantangan media di era transformasi digital.
Media dengan kerja-kerja jurnalistik, beberapa waktu lalu menghadapi tantangan baru yang sepertinya akan lebih pelik yaitu munculnya ChatGPT.
Aplikasi yang rilis pada 30 November 2022 ini, menghebohkan dunia internet karena bisa melakukan banyak hal yang biasa dikerjakan manusia. Padahal masih dalam tahap percobaan.
ChatGPT adalah chatbot AI (Artificial Intellegence). Program komputer berupa robot virtual yang bisa membuat percakapan layaknya manusia biasa. Sangat natural sehingga bisa diperintah membuat essay dan puisi. Meski laman resminya mengatakan bahwa aplikasi ini belum optimal menyelesaikan soal-soal matematika, tapi beberapa persamaan matematika yang rumit masih bisa diselesaikan. Bahkan beberapa programmer melihat ChatGPT bisa membuat coding dengan mahir.
ChatGPT dikeluarkan oleh OpenAI. Sebuah perusahaan riset bidang Artificial Intellegence yang diantara pendirinya adalah Elon Musk. Microsoft tercatat sebagai salah satu perusahaan yang mendukung OpenAI ini.
Untuk melihat bagaimana ChatGPT menjadi tantangan baru bagi kerja-kerja jurnalistik, mari kita telusuri sistem kerja ChatGPT sedari awal.
Sistem kerja ChatGPT tidak bisa dilepaskan dari sistem pengolahan data pada mesin pembelajaran (Machine Learning) yang menjadi nyawa Industri 4.0.
Para ilmuwan data sendiri secara umum melihat pengolahan data dibagi pada tiga model berbeda; supervised learning, unsupervised learning dan reinforcement learning.
Bila kita bertanya pada ChatGPT apa itu supervised learning, aplikasi ini akan menjawab bahwa supervised learning adalah algrotima machine learning dimana data yang ada diberi label terlebih dahulu. Setelah itu akan dibuat klasifikasi (classification) atau memprediksi nilai selanjutnya (regresi).
Jawaban ChatGPT ini seleras dengan pendapat Rudolph Russel dalam “Machine Learning: Step-by-Step Guide to Implement Machine Learning Algorithms with Python” yang ditulis tahun 2018. Menurut Russel supervised learning itu “In this type of machine learning system, the data that you feed into the algorithm, with the desired solution, are referred to as ‘label’”
Adapun unsupervised learning menurut Russel “In this type of machine learning system, you can guess that the data is unlabeled”. Perihal ini, ChatGPT mempunyai penjelasan lebih panjang. Bahwa unsupervised learning adalah teknik machine learning dimana sebuah algoritma diberi data tanpa label untuk menemukan struktur tersembunyi dalam data.
Di antaranya dengan memilah data-data yang mempunyai kaitan paling dekat untuk dijadikan satu kluster (clusterring).
Melalui dua jenis algoritma Machine Learning, dunia perbankan bisa membuat kluster antara nasabah layak diberi kredit, rentan dan tidak layak dengan sangat mudah. Atau dunia usaha bisa memprediksi harga sebuah rumah di sebuah lokasi tertentu di masa yang akan datang. Juga dengan sangat mudah dan akurat.
Namun reinforcement learning mempunyai cara kerja berbeda. “Reinforcement learning is another type of machine-learning system. An agent ‘AI system’ will observe the environment, perform given actions, and then receive rewards in return. With this type, the agent must learn by it self.” Begitu kata Russel.
Dalam algoritma reinforcement learning, ada sistem yang ditata supaya bisa belajar sendiri dengan cara interaksi aktif dengan lingkungannya. Semua feedback yang ada, dijadikan bahan untuk peningkatan performa. Algoritma inilah yang menjadi dasar kerja AI
Diantara produk AI yang sudah sangat dikenal adalah AlphaGo.
Program komputer buatan Google untuk memainkan Go. Go sendiri adalah Catur Cina yang dianggap permainan paling rumit di dunia. Dalam konteks ChatGPT sendiri, mungkin AlphaGo inilah yang bisa kita jadikan bahan perbandingan.
Setelah melanjutkan projek AlphaGo, Google beberapa kali menghadapkan produk AI ini melawan Master Go. Awalnya, AlphaGo kerap dikalahkan. Namun seiring waktu, AlphaGo bisa mengalahkan manusia.
Diantaranya mengalahkan Lee Se-Dol dari Korea Selatan. AlphaGo menang di tiga ronde pertama dari lima ronde yang direncanakan. Puncaknya adalah ketika mengalahkan Juara Dunia Go dari Cina, Ke-Jie.
Meski menang tipis, AlphaGo menang di ronde pertama dari tiga ronde yang dijadwalkan. Menurut Jie, sebelumnya cara berpikir AlphaGo masih seperti manusia. Namun sekarang, AlphaGo sudah seperti Dewa.
Bila ChatGPT dan AlphaGo adalah produk AI, maka tidak mustahil bila projek OpenAI ini akan berjalan seperti AlphaGo. Terlebih laman ChatGPT sendiri mengatakan bahwa mereka adalah contoh model pemprosesan bahasa alami (Natural Language Processing, NLP). NLP sendiri adalah diantara bidang AI yang memungkinkan komputer untuk memahami dan berkomunikasi dalam bahasa alami manusia.
Pada masa percobaan seperti sekarang, essay atau tulisan yang dibuat ChatGPT mungkin tidak bisa mengalahkan essay atau tulisan yang dibuat para jurnalis. Bahkan ChatGPT sendiri mengakui bila dia bukan aplikasi yang bisa mengakses internet sehingga informasinya tidak up to date.
Namun tidak tertutup kemungkinan bila kerja-kerja jurnalistik para wartawan juga bisa digantikan ChatGPT. Hanya dengan menuliskan beberapa perintah saja, maka ChatGPT bisa memproduksi tulisan sebagaimana layaknya para jurnalis. Bahkan mungkin lebih.
Namun seperti yang diungkapkan di atas, ini baru tantangan di masa-masa awal. Tantangan yang bukan hanya sangat sulit untuk ditundukan, tetapi juga sangat menentukan. Kesalahan dan keberhasilan dalam menghadapinya, akan menentukan masa depan media umumnya dan kerja-kerja jurnalistik khususnya. (***)
Opini
Catatan Akhir Tahun 2022: Pergerakan SMSI untuk Pers Indonesia
Published
2 years agoon
22 December, 2022By
goindonesia1Yono Hartono Wakil Ketua Umum SMSI (Dokumentasi : Istimewa)
Oleh: Yono Hartono Wakil Ketua Umum SMSI
Jakarta, goindonesia.co – Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) yang didirikan sejak Tahun 2017 merupakan metamorfosis dari pers dunia cetak menjadi pers digital atau siber, yang implementasinya menjadi media online.
Sebagai wadah perusahaan pers media online, SMSI yang kini beranggotakan sekitar 2000 pengusaha pers siber, memiliki karakter yang berbeda dengan profesi wartawan atau organisasi profesi lainya di bidang pers.
Bisa ditelusuri dari para pihak pendirinya, terlihat SMSI didirikan dari tangan para punggawa profesi pers yang tergabung dalam wadah PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) antara lain Atal S Depari (saat ini Ketua Umum PWI Pusat), Firdaus (mantan Ketua PWI Banten), Mirza Zulhadi (PWI Jawa Barat), dan lain-lainnya.
Sangatlah tidak berlebihan, bila SMSI ternyata dilahirkan dari rahim PWI, sebagai matarantai perjuangan pers di Indonesia, SMSI memiliki ghirah yang sama dengan PWI, yaitu menegakan kebenaran dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Meski berbeda predikat SMSI dengan PWI, tetapi tetap sama dalam memainkan perannya, sebagai pilar dan sekaligus pengawal demokrasi di Indonesia.
Sebagai organisasi perusahaan pers, SMSI memiliki tanggung jawab moral, atas keberlangsungan media online yang sehat dan berdedikasi tinggi, demi bangsa dan negara yang kita cintai ini.
Kiprah SMSI sebagai konstituen Dewan Pers merupakan lidah aspirasi perusahaan pers online di seluruh daerah Indonesia, menjadi andalan, untuk memperjuangkan hak hidup, yang layak dan bermartabat, bagi perusahaan pers online di daerah, yang masih menjadi start up untuk terus maju dan berkembang.
Perhelatan SMSI dengan Dewan Pers misalnya kita ambil contoh yang paling dinamis antara Januari 2022 hingga Desember ini, banyak sekali political interest, mulai dari pembentukan susunan anggota Dewan Pers yang baru, hingga terbitnya Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) yang meresahkan masyarakat pers Indonesia.
Segala hiruk pikuk yang terjadi di Dewan Pers, SMSI sangat berkeyakinan bahwa Dewan Pers adalah penjaga gawang yang terbaik, dari segala serangan,di semua lini tuntutan dunia pers, terhadap kemerdekaan Pers di Indonesia.
Dewan Pers sebagai representasi dari konstituen organisasi pers di Indonesia, sangat diharapkan berani mengambil terobosan baru, untuk kehidupan pers yang sehat dan bermartabat.
Meski begitu, Dewan Pers memang menjadi tumpuan dan harapan, sebagai alat yang bisa melindungi kepentingan pers di Indonesia, dari tsunami arus informasi dunia.
SMSI sebagai organisasi perusahaan pers online harus bekerja ekstra keras, di tengah ancaman platform media algoritma asing, yang makin menggurita, sebagai monster yang akan mencaplok peran media online di daerah, bisa tergerus habis tak bersisa.
Untuk itu dengan potensi ribuan media online yang tergabung di SMSI, harus berani mengambil langkah-langkah lobi dan negosiasi, kepada para pemangku kepentingan atmosfir digital pers di Indonesia.
Pada akhirnya perubahan karakter dari profesi jurnalistik menjadi menjadi pengusaha jurnalistik merupakan tantangan yang nyata. Ini dapat dilihat dari kecenderungan perilaku para pengurus SMSI di semua lini yang masih terpengaruh aliran darah wartawan. Bisa dimengerti karena kebanyakan mereka berlatarbelakang wartawan.
Tidak berlebihan bila Firdaus (Ketua Umum SMSI) dan sekretaris jenderalnya M. Nasir sebagai kekuatan dalam tim leader SMSI, selalu berupaya mendorong keras semua anggota SMSI, untuk mengubah perilaku kebiasaan sebagai wartawan, menjadi pengusaha.
Prinsip perilaku pengusaha yang sukses, menurut kebanyakan orang, yang sukses sebagai pengusaha, selalu berprinsip “kaya hasil sisa berbagi”. (***)
***Penulis : Yono Hartono, Wakil Ketua Umum SMSI
Wakil Presiden Gibran Tinjau Uji Coba Makan Bergizi Gratis di SMKN 3 Kota Tangerang
Permenpora Nomor 14 Tahun 2024: No Dualisme!
Kemenag Libatkan Peer Educator Kampanyekan Bahaya Nikah Dini, Judi Online, dan Narkoba lewat Media Sosial
Trending
-
Berita4 weeks ago
Presiden Prabowo Tegaskan Sinergi Program Kerja dan Hilirisasi Komoditas untuk Masa Depan Indonesia
-
Berita3 weeks ago
Pertamina Luncurkan Katalog Pertamina SME1000 Tahun 2024 Untuk Perluas Pasar UMKM
-
Berita3 weeks ago
Momentum Hari Sumpah Pemuda, Menko PMK Ajak Pemuda Kokohkan Persatuan
-
Berita2 weeks ago
Pendaftaran Zakat Wakaf Fun Run Dibuka 11 November 2024
-
Berita Provinsi2 weeks ago
Atlet Berprestasi Riau, Bisa Kuliah Gratis di Unilak
-
Kabupaten2 weeks ago
Pj Bupati Agus Toyib Hadiri Simulasi Pemungutan Suara dan Perhitungan Suara Pilkada 2024
-
Berita2 weeks ago
Kemnaker Terima Aksi Demo Damai Serikat Pekerja
-
Berita2 weeks ago
Kemenpora Gelar Pesta Prestasi Bertemakan Zaman Now Prestasi Wow