Hukum

Penerapan Metode Omnibus pada UU Cipta Kerja Tak Penuhi Syarat

Published

on

Mahkamah Konstitusi (Footo : @www.mkri.id)

Jakarta, goindonesia.co – Pasal 42A Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2022 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan “Penggunaan metode omnibus dalam penyusunan suatu Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus ditetapkan dalam dokumen perencanaan.”

Sehingga norma ini secara jelas telah mengatur penggunaan metode omnibus dalam penyusunan perancangan peraturan yang “harus” dimuat dalam dokumen perencanaan. Sebab undang-undang ini mengawinkan proses perencanaan hingga pengundangan.

Demikian keterangan yang disampaikan Jamaludin Ghafur dari Universitas Islam Indonesia sebagai Ahli yang dihadirkan oleh Partai Buruh (Pemohon Perkara Nomor 50/PUU-XXI/2023) dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK).

Sidang kedelapan untuk perkara pengujian formiil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja) ini digelar pada Senin (7/8/2023). Sebanyak empat perkara digabung pemeriksaannya dalam persidangan, yakni Perkara 40/PUU-XXI/2023, 41/PUU-XXI/2023, 46/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 50/PUU-XXI/2023. Adapun agenda sidang ketujuh ini yakni mendengarkan keterangan Ahli para Pemohon.

Lebih lanjut Jamaludin menyebutkan, penggunaan metode ini mencantumkan kata “harus” yang bermakna peraturan perundang-undangan menghendaki norma yang disusun harus ditetapkan dalam dokumen perencanaan dan menjadi syarat sah dari penggunaan metode omnibus tersebut dapat digunakan dalam menyusun peraturan perundang-undangan.

“Tanpa ditetapkan demikian maka undang-undang yang telah dirancang tersebut tidak sah karena tidak memenuhi syarat. Maka peraturan perundang-undangan yang dapat disusun hanya terbatas pada peraturan yang memungkinkan proses perencanaan terlebih dahulu. Bagaimana dengan Perppu atau yang selevelnya, hal ini tidak dimungkinkan terjadi karena tidak tersedia prosedur perencanaan di dalamnya. Maka Perppu Cipta Kerja ini jelas tidak memenuhi syarat sebagai bentuk hukum peraturan  yang dapat disusun dengan metode omnibus. Sehingga, ini jelas terdapat kekeliruan pada metode pembentukan hukumnya,” jelas Jamaludin.

Cacat Hukum

Selanjutnya Jamaludin menerangkan cacat hukum formil dalam tahap persetujuan UU Cipta Kerja ini di DPR. Menurutnya, wewenang Presiden dalam membentuk Perppu telah disebutkan oleh konstitusi dengan menetapkan batasannya pada Pasal 22 UUD 1945, bahwa dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang dan peraturan pemerintah harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.

Selain itu, sambung Jamaludin, aturan berikutnya terdapat pula pada Pasal 52 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Titik tekan pada pasal ini terdapat pada persetujuan DPR pada persidangan berikutnya dan bukan pada masa pengajuan naskah Perppu oleh presiden pada sidang berikutnya. Sehingga tindakan Presiden mengajukan Perrpu dalam sidang berkutnya menjadi konsekuensi logis dari konstitusi.

“Artinya keabsahan penetapan Perppu menjadi undang-undang tidak selesai dengan Presiden menyerahkan naskah karena masa sidang berikutnya dan DPR belum memberikan persetujuan. Bahwa naskah Perppu ini diajukan pada 30 Desember 2022, sementara jadwal sidang terdekat setelahnya ada pada 10 Januari 2023–16 Februari 2023, namun masa persidangan ini hanya dilakukan pembahasan dan pencermatan.

DPR baru memberikan persetujuan dalam sidang pada Selasa 21 Maret 2023. Oleh karena itu, intinya tindakan DPR ini tidak memberi persetujuan sesuai waktunya ini merupakan tindakan inkonstitusional yang berimplikasi pada tidak sahnya penetapan Perppu sebagai undang-undang,” terang Jamaludin. (***)

*HUMAS MKRI ,@www.mkri.id

Trending

Exit mobile version