Hukum

MK Batalkan Pasal Kebal Hukum di Perppu COVID-19, Pemerintah Kini Bisa Digugat

Published

on

Jakarta, Goindonesia.co – Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian gugatan materiil terkait Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020. Perppu yang kini sudah disahkan menjadi UU No. 2 Tahun 2020 itu terkait penanganan pandemi corona di Indonesia.

Poin yang dikabulkan ialah terkait pasal yang membuat Pemerintah kebal hukum. Kini, pemerintah bisa digugat terkait penggunaan dana untuk penanganan COVID-19.

Ada total lima gugatan terkait dengan Perppu Corona ini yang dikabulkan sebagian petitumnya oleh MK, yakni:

  • Perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 (Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA); Desiana Samosir; Muhammad Maulana; Syamsuddin Alimsyah)
  • Perkara Nomor 43/PUU-XVIII/2020 (Ahmad Sabri Lubis; Munarman; Khotibul Umam; Ismail Yusanto; Hasanudin; Muhammad Faisal Silenang; Irfianda Abidin; Timsar Zubil; dan Sugianto)
  • Perkara Nomor 75/PUU-XVIII/2020 (Din Syamsuddin; Sri Edi Swasono; Amien Rais)
  • 45/PUU-XVIII/2020 (Sururudin)
  • 49/PUU-XVIII/2020 (Damai Hari Lubis)

“Mengadili: Dalam Pengujian Formil: Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Dalam Pengujian Materiil: Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Anwar Usman membacakan amar putusan, Kamis (28/10).

Pasal yang dimaksud ialah pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020 yang berbunyi:

(1) Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.

(2) Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.

Terkait ayat (1), MK menilai bahwa ketentuan tersebut membuat bahwa meski meski keuangan negara untuk penanganan pandemi digunakan dengan iktikad tidak baik dan tidak sesuai aturan, akan tetapi pelakunya tidak bisa dituntut pidana. Sebab, ada kata “bukan merupakan kerugian negara”.

MK pun menilai dengan adanya ketentuan itu, tertutup kemungkinan pelaku penyalahgunaan kewenangan terhadap keuangan negara dalam UU a quo untuk dilakukan penuntutan baik secara pidana dan/atau perdata. Sebab ketentuan dalam ayat (1) itu tidak disertai dengan keterangan bahwa pelaksanaan tugas tersebut didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

“Bahwa di samping pertimbangan hukum tersebut di atas, ketentuan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 juga berpotensi memberikan hak imunitas bagi pihak-pihak yang telah disebutkan secara spesifik dalam Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 yang pada akhirnya berpotensi menyebabkan impunitas dalam penegakan hukum,” bunyi pertimbangan hakim.

Dengan pertimbangan tersebut, MK mengubah Pasal 27 ayat (1) menjadi:

Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Sementara untuk ayat (2), MK tidak mengubah frasa di dalamnya. Sebab, sudah ada perubahan di dalam ayat (1) yang berimplikasi pada ayat (2).

Menurut MK, pejabat pemerintah yang disebutkan dalam ayat (2) termasuk subjek hukum yang bisa digugat.

“Tindakan hukum baik secara pidana maupun perdata tetap dapat dilakukan terhadap subjek hukum yang melakukan penyalahgunaan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 sepanjang perbuatan tersebut menimbulkan kerugian negara karena dilakukan dengan iktikad tidak baik dan melanggar peraturan perundang-undangan dalam norma Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020,” bunyi pertimbangan hakim.

Sedangkan untuk ayat (3), MK pun turut mengubahnya. Ketentuan dalam ayat tersebut menerangkan bahwa semua tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Perppu bukan merupakan objek gugatan yang bisa digugat ke PTUN.

MK merujuk ketentuan Pasal 49 UU PTUN bahwa keadaan pandemi COVID-19 seperti yang terjadi saat ini merupakan bagian dari keadaan yang dikecualikan untuk tidak dapat dijadikan sebagai objek gugatan kepada PTUN.

Namun, MK melihat Perppu ini tidak hanya berkaitan dengan pandemi COVID-19. Tetapi juga berkaitan dengan berbagai macam ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.

Maka, MK menilai harus ada pengawasan dan hal tersebut termasuk dalam objek gugatan PTUN. Sebab, semua tindakan yang diambil harus berdasarkan iktikad baik dan sesuai peraturan perundang-undangan.

“Apabila fungsi kontrol tersebut tidak diberikan maka hal demikian berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan (abuse of power) dan ketidakpastian hukum,” bunyi pertimbangan hakim.

Dengan pertimbangan tersebut, MK mengubah Pasal 27 ayat (3) menjadi: “Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara sepanjang dilakukan terkait dengan penanganan pandemi Covid-19 serta dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Putusan ini diwarnai adanya 3 hakim MK yang berbeda pendapat, yakni Hakim Konstitusi Anwar Usman, Hakim Konstitusi Arief Hidayat, dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh. Ketiganya menilai Perppu tersebut sudah sesuai konstitusi.

Mereka berpendapat gugatan layak tidak beralasan hukum dan layak ditolak. Baik secara formil maupun materiil.

Trending

Exit mobile version