Foto : Istimewa
Jakarta, goindonesia.co – Pertunjukan hukum yang serampangan dan ugal-ugalan yang diorkestrasi oleh Polres Kampar, Kejaksaan Negeri Kampar, telah disempurnakan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kampar, yang terdiri dari Hakim Ketua, Dedi Kuswara, dan dua Hakim Anggota, Petra Jeanny Siahaan dan Renny Hidayati, memutuskan Ketua Kopsa-M, Dr. Anthony Hamzah dinyatakan bersalah dengan hukuman 3 tahun penjara, berdasarkan Pasal 170 ayat (1) jo Pasal 56 KUHP, Selasa (31/05/2022). Vonis ini tampak menunjukkan persekongkokolan sempurna untuk menjatuhkan hukuman pada seseorang yang tidak bersalah atas pejuang petani oleh perusahaan ilegal PT. Langgam Harmuni dan PTPN V.
Masalah akuntabilitas dan tata kelola PTPN V sebagai perusahaan negara sektor perkebunan dalam kemitraan yang menyengsarakan petani, dengan gigihnya diungkap oleh Anthony Hamzah bersama 997 petani Kopsa-M. Penyerobotan dan penguasaan kebun petani secara melawan hukum oleh PT. Langgam Harmuni, pembangunan kebun gagal dengan perkiraan kerugian petani mencapai 1,7 triliun rupiah, hutang fiktif yang dibebankan petani hingga kontrak KKPA berakhir tahun 2023 diperkirakan mencapai 180 miliar rupiah, praktik pembungkaman dan kriminalisasi atas perjuangan petani, serta mengadu domba petani Kopsa-M dengan menempatkan karyawan PTPN V, Nusirwan sebagai pengurus koperasi boneka, adalah praktik-praktik yang dilakukan sedemikian rupa oleh oknum manajemen PTPN V dan PT. Langgam Harmuni, tanpa tersentuh hukum. Aparat penegak hukum membisu dan tutup mata. Bahkan justru mengkriminalisasi petani dan membiarkan hak-hak petani dirampas.
Dalam pledoinya dengan jelas disampaikan bahwa pengabdian sebagai Ketua Kopsa-M, memang murni di latarbelakangi atas niat tulus membantu petani Kopsa-M. Anthony Hamzah teringat akan seorang nenek tua bernama Kimah datang menghampirinya dan berkata: “Tolong bantu kami nak, hanya kebun ini yang kami harapkan untuk membeli beras, dan kalau lahan itu hilang, kelak dimana lagi kami dan anak cucu kami akan dikuburkan.“
Vonis hakim 31 Mei 2022, tidak bisa tidak dikatakan penuh dramatisasi, halu, manipulasi dan pembuktian hukum yang sama sekali tidak berdasar. Fakta-fakta persidangan yang menunjukkan bahwa Anthony Hamzah sama sekali tidak bersalah dan tidak pernah terbukti melakukan perbuatan sebagaimana tuduhan jaksa, diabaikan dengan begitu rupa. Bahkan vonis ini mengubah tuntutan JPU dari Pasal 368 ayat (1) jo. Pasal 55 ayat (1) dengan tuntutan pidana maksimal 9 bulan, berubah menjadi pasal 170 jo. 56 dengan vonis 3 tahun. Putusan terhadap Hendra Sakti dan Marvel yang telah inkrah, divonis atas tuduhan pemerasan bukan pengrusakan, sehingga bertentangan dengan vonis yang diterima Anthony Hamzah dengan pasal pengrusakan; kemudian pernyataan saksi dan saksi ahli atas bukti fotocopy kwitansi yang di manipulasi dan tidak sah dijadikan sebagai alat bukti; begitupun dengan kesaksian dari saksi JPU maupun kesaksian Hendra Sakti dan Marvel bahwa tidak pernah ada tindakan dari Anthony Hamzah untuk menyuruh, memaksa, memerintahkan ataupun terlibat dalam peristiwa yang dituduhkan. Semua fakta hukum persidangan ini diabaikan, hanya untuk memenuhi hasrat membungkam perjuangan Anthony Hamzah bersama 997 petani Kopsa-M yang gigih berjuang untuk mengembalikan hak mereka yang dirampas secara melawan hukum oleh PTPN V dan perusahaan ilegal PT. Langgam Harmuni.
Hakim gagal total menerapkan sistem pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 184 jo. 185 KUHAP. Saksi-saksi yang dihadirkan kontradiktif, tidak berkesesuaian dan penuh rekayasa. Bahkan seorang saksi bernam Yusri Erwin bersaksi dengan mengeluarkan kata-kata kotor di persidangan semakin menunjukkan rekayasa kasus dan hakim membiarkannya tanpa reaksi apapun. KUHAP secara tegas mengatur tentang alat bukti yang sah dan berkekuatan hukum. Bagaimana mungkin hakim memutus bersalah hanya dengan bukti fhoto copy yang tidak diketahui asal usulnya serta tidak ada pembanding aslinya. Bahkan Antony Hamzah dipersalahkan karena surat kuasa yang ditandatanganinya. Padahal surat kuasa adalah produk hukum yang sah.
Keberpihakan hakim pada korporasi yang beroperasi di balik kriminalisasi Anthony Hamzah sangat nampak ketika menilai Antony Hamzah bersalah dengan dalil “dia seorang doktor pertanian yang dianggap memberi contoh yang buruk”. Pertanyaannya apakah memberikan surat kuasa untuk urusan hukum adalah buruk, apakah seorang doktor pertanian tidak boleh memberikan surat kuasa?. Mahasiswa Fakultas Hukum pun memahami bahwa ketika seseorang memberikan kuasa pada penerima kuasa, tidak serta merta apa yang diperbuat oleh penerima kuasa adalah bentuk perbantuan dari pemberi kuasa. Ini bentuk pengingkaran hukum yang terbuka dan sekaligus mengkonfirmasi seluruh rangkaian peradilan atas Anthony Hamzah adalah pesanan sekaligus bentuk dukungan membabi buta dari aparat penegak hukum pada korporasi yang bermasalah. Vonis 3 tahun adalah fantasi hakim tentang suatu kejahatan, yang sebenarnya kejahatan itu tidak pernah ada.
Tentu saja, upaya hukum untuk menunjukkan bahwa Anthony Hamzah merupakan pejuang petani yang tidak bersalah akan selalu dilanjutkan. Laporan-laporan pemantauan sidang tentang Majelis Hakim dan tuntutan maupun dakwaan jaksa yang penuh ketidakprofesionalan akan di laporkan, sehingga generasi mendatang masih optimis bahwa instrumen keadilan di republik masih bisa menjadi tumpuan mencari keadilan. (***)