Hukum

Ahli Pidana Tim Perumus RUU KUHP Memberi Keterangan Sebagai Saksi Dalam Sidang Lanjutan Anthony Hamzah

Published

on

Persidangan H. Anthony Hamzah yang digelar di PN Bangkinang, Riau pada Kamis, 12 Mei 2022 Foto: Istimewa

Jakarta, goindonesia.co – Persidangan dengan terdakwa Ketua Kopsa M Kampar Riau, H. Anthony Hamzah yang dikriminalisasi karena memperjuangkan hak 997 petani atas PTPN V dan perusahaan perkebunan ilegal PT. Langgam Harmuni, memasuki babak akhir, sebelum tuntutan jaksa akan dibacakan.

Sidang yang digelar di PN Bangkinang, Riau pada Kamis, 12 Mei 2022 menghadirkan 2 saksi ahli Hukum Pidana dan 1 saksi ahli Hukum Perdata. Keterangan 3 ahli tersebut menperkuat argumen penasehat hukum yang dalam eksepsi meyakini bahwa kriminalisasi terhadap Dosen UNRI, H. Anthony Hamzah ini adalah back fire atas kegigihannya membela hak-hak petani dan tidak sah secara hukum.

Dr. Chairul Huda, Ahli Pidana yang juga merupakan anggota Tim Perumus RUU KUHP ini menyatakan dakwaan atas Anthony Hamzah yang didasari bukti foto copy tidak berkesesuaian sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP (1). Bahkan menjadi menyesatkan karena menjadikan tulisan foto copy yang tidak diketahui asal usulnya serta tidak ada pembanding aslinya sebagai alat bukti.

“Hal tersebut jelas melanggar UU yang mengatur secara jelas dan tegas mengenai alat bukti,” terang Chairul Huda.

Foto : Istimewa

Lebih jauh Huda yang juga merupakan Penasehat Ahli Kapolri bidang Hukum Pidana ini menjelaskan, bahwa seseorang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana, dengan dasar surat kuasa, karena surat kuasa adalah produk hukum yg diatur oleh undang-undang keperdataan.

“Jika disandingkan dengan pertanggungjawaban pidana, maka tidak mungkin ada surat kuasa dibuat untuk melakukan tindak pidana. Sehingga pertanggungjawaban pidana terhadap hal melawan hukum, mutlak jatuh terhadap pelaku tindak pidana,” kata Huda yang juga pakar hukum dan anggota Tim Penyusun RKUHP.

Dosen Pembaharuan Hukum Pidana di beberapa perguruan tinggi ini mencontohkan bahwa presiden yang memberikan kuasa kepada menteri, kemudian menteri tersebut korupsi, apakah presiden juga harus bertanggung jawab?

“Kan tentu tidak,” terang Huda.

Dalam hubungan antara Anthony Hamzah dengan pelaku perusakan yang sudah divonis sebelumnya, ditanyakan oleh hakim, apakah Anthony yang membayar pengacara bisa dikatakan memberikan sarana dan prasarana terhadap tindak pidana? Dijawab dengan tegas oleh Chairul Huda, Tidak. Karena ada unsur esensial yang harus dibuktikan, yaitu inisiatif kedua belah pihak. Anthony Hamzah memberikan kuasa kepada orang yang mengaku pengacara, jelas dia sebagai korban penipuan dari orang tersebut. Orang yang ditipu tentu sebelumnya tidak menyadari bahwa dia telah ditipu.

“Anthony Hamzah memberikan kuasa kepada pengacara tentu niat dan maksud dia adalah untuk menyelesaikan persoalan-persoalan sebagaimana keilmuan pengacara bukan premanisme. Sehingga sejak awal pun tidak ada niat/kehendak diri Anthony untuk melakukan hal-hal di luar hukum,” pungkas Chairul Huda.

Foto : Istimewa

Pada kesempatan yang sama, Dr. Erdianto, ahli hukum pidana Universitas Riau, juga menerangkan bahwa pelaksanaan hukum pidana akan menjadi membahayakan jika Surat Kuasa yang berarti mandat, dijadikan alat bukti pidana.

“Dakwaan turut serta yang dijadikan argumen Jaksa dengan bukti adanya Surat Kuasa jelas salah kaprah,” kata Erdianto.

Menurut Erdianto, makna turut serta adalah bahwa pelaku dan penganjur harus sama-sama memahami bahwa apa yang dilakukannya adalah tindak pidana. Sehingga ada kesadaran penuh bahwa fasilitas yang dia berikan tersebut untuk melakukan tindak pidana. Yang dimaksud pemberian sarana dan prasarana kejahatan adalah, jika tanpa sarana tersebut maka tidak bisa melakukan kejahatan.

“Pemberian uang jasa Kepada penerima kuasa bukanlah bentuk sarana dan prasarana yang dimaksud dalam Hukum Pidana. Sehingga, jika penerima kuasa melakukan tindak pidana, maka pertanggungjawabannya mutlak jatuh kepada penerima kuasa,” tegas dosen senior FH Universitas Riau ini.

“Apalagi pada pemeriksaan sebelumnya, Hendra Sakti, terpidana yang pernah menerima Kuasa dari Kopsa M ini, secara tegas menyatakan bahwa tindakannya bukan atas perintah Anthony Hamzah,” lanjut Erdianto.

Terkait Surat Kuasa, kembali dipertegas oleh Dr. Firdaus, dosen senior Fakultas Hukum UNRI, bahwa Surat Kuasa adalah produk hukum yang masuk dalam ranah perjanjian.

“Syarat-syarat perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan empat syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu: sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, suatu sebab yang halal. Syarat sah perjanjian tersebut secara tegas menjelaskan bahwa tidak sah jika ada hal-hal yang diperjanjikan tersebut adalah melawan hukum,” kata Firdaus yang juga mantan Dekan FH Universitas Riau.

Lebih lanjut dia mengatakan dalam kasus Anthony Hamzah, pemberian Kuasa kepada Hendra Sakti adalah sah menurut hukum. Dan tidak ada hal yang dilanggar. Hal-hal yang dilakukan penerima kuasa yang kemudian melanggar hukum, maka berdampak pada batalnya perjanjian tersebut sehingga, pertanggungjawaban atas hal-hal melawan hukum mutlak jatuh kepada penerima kuasa. Bukan yang memberi kuasa.

Di akhir persidangan yang menghadirkan 3 saksi ahli tersebut, Penasehat Hukum Kopsa M, Samaratul Fuad, mengatakan keterangan jernih para ahli hukum yang membersamai para petani dan secara sukarela memberikan kesaksiannya, diharapkan dapat meyakinkan para hakim yang menangani perkara ini. Kekeliruan dalam mengambil putusan akan menjadi preseden buruk dan yurisprudensi yang menyesatkan.9***)

Trending

Exit mobile version