Ustd. Ama R. Hery Herdiana (Foto : Koleksi pribadi)
Oleh: Ama R. Hery Herdiana
Assalamualaikum wr wb sahabat fillah.
Jakarta, goindonesia.co – Dari tempat miqot di Bir Ali Madinah kami berangkat ke Mekkah. Setelah melakukan perjalanan sekitar 6 jam kami tiba di Mekkah dan memasuki hotel terlebih dahulu untuk mensettle tempat tinggal kami selama di Mekkah. Selama di hotel hari ini kami masih memakai pakaian ihram dan terikat larangan selama berihram.
Kemudian sekitar jam 11 malam kami memasuki masjidil haram sambil melapazkan doanya, memandang Ka’bah sambil melapazkan doanya, serta mulai melakukan Thawaf 7 putaran dan melantunkan dzikir dan doanya. Selesai Thawaf disusul sholat sunah 2 rokaat di depan/lurusan multazam/pintu Ka’bah.
Dikarenakan sangat padat sekali kondisi di sekitar Ka’bah malam itu kami tidak bisa sholat sunah di dekat atau lurusan maqom Ibrohim. setelah itu dilanjutkan dengan Sa’i dan ber Tahalul. Alhamdulillah umrah rangkain haji tamattu selesai dikerjakan. Waktu menunjukan jam 01.45 dinihari kemudian kami pulang ke hotel, mandi, berpakaian biasa dan beristirahat.
Selain hal syar’i, ada hal hakiki yang mesti diperhatikan dalam tahap ini agar mencapai kesempurnaan. Syekh Ali Zainal Abidin melanjutkan pertanyaan kepada muridnya (Syekh Asy-Syibli) yang baru saja pulang berhaji.
Apakah engkau memasuki Masjidil Haram, memandang Ka’bah serta sholat di sana?” “Benar.” “Ketika memasuki Masjidil Haram, apakah engkau berniat mengharamkan dirimu dari segala macam ghibah? Ketika sampai di Mekkah, apakah engkau bertekad untuk menjadikan Allah satu-satunya tujuan?” “Tidak,” jawabnya.
“Sesungguhnya, engkau belum memasuki Masjidil Haram, tidak memandang Ka’bah, serta tidak sholat pula di sana!” Ali bertanya kembali, “Apakah engkau telah berthawaf dan berniat untuk berjalan serta berlari menuju keridhoan Allah? “Tidak.” “Kalau begitu, engkau tidak berthawaf dan tidak pula menyentuh rukun-rukunnya!” Tanpa bosan Ali kembali bertanya, “Apakah engkau berjabat tangan dengan Hajar Aswad dan sholat di Maqam Ibrahim?” Dijawabnya, “Benar.”
Mendengar jawaban itu, Ali Zainal ‘Abidin menangis, seraya berucap, “Oooh, barangsiapa berjabat tangan dengan Hajar Aswad, seakan ia berjabat tangan dengan Allah. Maka ingatlah, janganlah sekali-kali engkau menghancurkan kemuliaan yang telah diraih, serta membatalkan kehormatanmu dengan aneka dosa!”
Cucu Rosulullah SAW ini terus mencecar muridnya. “Saat berdiri di Maqam Ibrahim, apakah engkau bertekad untuk tetap berada di jalan taat serta menjauhkan diri dari maksiat? Ketika sholat dua rakaat di sana, apakah engkau bertekad untuk mengikuti jejak Ibrahim serta menentang semua bisikan setan?” “Tidak.” “Kalau begitu, engkau tidak berjabat tangan dengan Hajar Aswad, tidak berdiri di Maqam Ibrahim, tidak pula sholat dua rakaat!”
Lanjutnya, “Apakah ketika melakukan Sa’i, antara Shafa dan Marwah, engkau menempatkan diri diantara harapan akan rahmat Allah dan rasa takut menghadapi murka-Nya?” “Tidak,” jawab Asy-Syibli. “Kalau begitu, engkau tidak melakukan perjalanan antara dua bukit itu!
Ketika mencukur rambut (tahallul), apakah engkau bertekad untuk mencukur segala kenistaan? Tidak Guru. Kalau begitu engkau tidak bertahalul. Kembalilah, kembalilah! Sesungguhnya engkau belum menunaikan hajimu!”
Asy-Syibli menangis tersedu, menyesali ketidak tahuan dan ketidak sempurnaan ibadah yang telah dilakukannya….. Bersambung (***)
*Ama R. Hery Herdiana , Penulis adalah Pimpinan Majelis Dzikir Asyiiqi Rosululloh