Ekonomi

Tahu Tempe Terancam Hilang

Published

on

Foto: Pedagang tempe melayani pembeli di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta, Selasa (15/2/2022). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, goindonesia.co – Harga kedelai dunia mengalami lonjakan. Situasi ini tentu akan berdampak besar bagi industri tempe dan tahu domestik yang didominasi skala rumah tangga.

Merujuk pada situs tradingeconomics, harga kedelai berfluktuasi di rentang US$ 15 per bushel (sekitar 27,21 kg) setelah sempat menyentuh level tertinggi sejak Mei 2021 di kisaran US$ 16 per bushel.

Situasi ini telah membuat industri tempe dan tahu ketar ketir. Ketua Umum Gabungan Koperasi Produsen Tempe dan Tahu Indonesia Aip Syariuddin mengatakan 20% atau 30 ribu perajin tahu dan tempe telah setop produksi.

“Jumlah perajin tahu tempe mencapai 160 ribu yang rumahan, sekarang kurang lebih 20% atau 30 ribu perajin berhenti produksi karena kenaikan harga,” kata Aip, seperti dikutip Sabtu (19/2/2022).

Menurut Aip, perajin tempe adalah industri rumahan skala kecil yang memproduksi 10 – 20 kg kedelai per hari. Mereka sangat kesulitan dengan fluktuasi harga. Sementara, untuk produsen yang menggunakan kedelai 50 – 100 kg per hari masih bisa bertahan, meski beberapa diantaranya harus mengecilkan ukuran hasil produksi.

Belum lagi, kata Aip, harga kedelai selalu berubah dan cenderung naik setiap harinya. Sehingga, mengganggu rencana pembelian bahan baku, karena harga tidak stabil.

“Kami usulkan harga kedelai dibuat stabil, minimal untuk waktu 1 bulan meski idealnya 3 bulan. Contohnya kalau ditetapkan Rp 10.500 per kilogram harga kedelai ya berlaku satu bulan jangan range, berat kita,” kata Aip.

Kondisi ini tak hanya berdampak pada industri dan perajin tempe dan tahu. Pelaku usaha di bidang warung makan/warteg pun ikut terkena imbas dari harga kedelai yang masih bergerak secara fluktuatif.

Ketua Umum Warung Nusantara (Kowantara) Mukroni mengatakan, hingga saat ini, ribuan usaha warung makan yang tergabung dalam paguyubannya belum mampu bangkit. Sejumlah tantangan diakui membebani pengusaha warteg.

Per awal tahun 2022, menurut Mukroni, setidaknya ada 4.000 warung makan skala menengah ke bawah yang tutup akibat efek domino pandemi Covid-19. Pengusaha warteg yang tutup pun beralih profesi, menjadi supir atau buruh.

Salah satu tantangan yang dihadapi adalah naiknya harga-harga pangan untuk menu masakan. Seperti minyak goreng, tempe, tahu, cabai, bahkan gula. Belum lagi, lanjutnya, kebijakan PPKM level 3 menambah tantangan tersendiri bagi pengusaha warteg.

Sebelumnya, pedagang juga harus kebingungan akibat melonjaknya harga harga daging ayam dan telur.

“Jadi ada keraguan bisa pulih lagi. Karena daging mahal, sementara daya beli turun, jadinya banyakin menu seperti tahu dan tempe. Karena terjangkau,” katanya kepada CNBC Indonesia.

Pada saat bersamaan, dia mengaku mendengar kabar rencana kenaikan harga dan aksi mogok perajin tahu-tempe.

“Pedagang bilang bakal mau ada demo. Harga tempe – tahu sekarang belum naik, tapi sudah dibilangin bakal naik, mungkin Sabtu atau Minggu,” kata Mukroni.

Hal senada disampaikan Ayu, pedagang sayur keliling. “Harga tahu masih Rp5.000 per potong [besar]. Tapi nggak tahu nanti, katanya mau demo,” kata Ayu (***)

Trending

Exit mobile version