Harga kedelai dunia kembali naik. Kenaikan menyebabkan harga kedelai impor di Indonesia ikut naik. Ilustrasi. (CNN Indonesia/Hesti Rika).
Jakarta, goindonesia.co – Harga kedelai dunia kembali naik. Kenaikan menyebabkan harga kedelai impor di Indonesia ikut naik. Ketika harga kedelai naik, mau tidak mau imbasnya juga akan terasa pada lauk seperti tahu dan tempe.
Mengutip Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan (SP2KP), harga kacang kedelai impor pada Rabu (12/1) naik 0,8 persen menjadi Rp12.500 per kilogram (kg) dibandingkan hari sebelumnya.
Sedangkan mengutip Reuters, harga kacang kedelai mendekati level tertingginya selama 7 bulan terakhir pada Jumat (7/1) lalu. Pada perdagangan di Chicago Board of Trade (CBOT) harga kacang kedelai naik 23 sen menjadi US$14,10-1/4 per gantang.
Menurut Dekan Fakultas Pertanian UGM Jamhari, impor kedelai merupakan masalah jangka panjang yang membutuhkan solusi. Dalam memecahkan masalah itu, dia mengusulkan untuk mengembangkan komoditas lokal pengganti kedelai serta berupaya meningkatkan produksi kedelai dalam negeri.
“Untuk membuat tempe tidak harus kedelai. Ada kacang-kacangan lain seperti kacang koro yang cukup bagus untuk dikembangkan di daerah tropis seperti Indonesia untuk menggantikan kedelai impor,” jelasnya seperti dikutip dari rilis UGM, Kamis (13/1).
Jamhari menjelaskan kedelai sebetulnya merupakan tanaman yang secara alami dapat berproduksi secara optimal di daerah subtropis. Maka tak heran produktivitas kedelai di Indonesia tidak sebaik negara produsen utama.
Walau beberapa varietas kedelai di Indonesia memiliki potensi produksi yang cukup tinggi, namun sejauh ini masih terdapat kesenjangan antara produksi potensial dan produksi riil.
Ia mengatakan salah satu penyebab rendahnya produksi kedelai di Indonesia adalah karena minimnya lahan pertanian. Menurut dia, solusi jangka pendek ialah mengintegrasikan pertanian kedelai dengan perkebunan dan hutan tanaman.
“Secara umum, Indonesia menghadapi keterbatasan lahan untuk pangan. Termasuk kedelai yang produksinya oleh petani kecil yang kekurangan lahan, bukan dari perusahaan besar,” kata Jamhari.
Di sisi lain, pengembangan industri produk substitusi dapat menjadi solusi jangka panjang jika disikapi secara serius oleh pihak terkait, termasuk pemerintah dan pelaku industri.
Misalnya, varietas seperti kacang koro belum mencapai produktivitas yang maksimal karena kurangnya keseriusan dalam mengembangkan substitusi kedelai impor dari pihak-pihak tersebut. Ujung tombak upaya ini harus terletak pada mereka yang memiliki sumber daya teknologi dan kemampuan untuk mengembangkan produk pertanian yang sesuai dengan iklim Indonesia.
Dengan komitmen yang kuat, ia meyakini Indonesia mampu mengatasi ketergantungan impor kedelai.
“Bisa, tapi kita harus berkomitmen. Seperti gandum yang bahan bakunya mie, bisa diganti tepung singkong, tapi kami tidak berkomitmen sepenuh hati,” ujarnya.
Dari sisi kebijakan, ia menilai pemerintah dapat mendorong pengembangan substitusi kedelai melalui kebijakan terkait kandungan lokal, misalnya mewajibkan penggunaan bahan baku lokal 60 persen. Karena itu, industri akan mencari bahan baku pengganti kedelai yang bisa diproduksi di dalam negeri.
“Petani kecil jangan dibiarkan begitu saja. Harus ada kewenangan untuk memimpin ekonomi kecil ini,” imbuhnya.
Ia menambahkan konsumsi pangan produksi lokal harus menjadi kampanye bagi masyarakat untuk mengurangi beban impor pangan. Keanekaragaman hayati Indonesia, jelasnya, tidak hanya untuk menjaga dan melestarikan tetapi juga bermanfaat sebagai sumber pangan yang berkelanjutan.
“Konsumsi masyarakat Indonesia harus beragam seperti yang bisa kita produksi sendiri,” pungkas Jamhari. (***)