Bisnis

ICLD Bedah PP Nomor 56 Tahun 2021 Menyoal Royalti Hak Cipta Lagu

Published

on

Photo : Istimewa

Jakarta, goindonesia.co – Dalam rangka membedah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2021 – Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik, atau cukup disebut dengan PP Nomor 56 Tahun 2021 yang mengatur soal royalti lagu musik Analog sampai Digital.

Dalam PP tersebut memuat tentang kewajiban pembayaran royalti bagi setiap orang yang menggunakan lagu atau musik secara komersial dan ataupun pada layanan publik. Lantaran itu,

Menyoal PP No. 56 tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik, sempat ‘gaduh’ di awal tahun 2021. Masalah ini kembali mengemuka dalam seminar virtual yang diselenggarakan ICLD (Indonesian Center for Legislative Drafting), Sabtu (7/8/2021).

Seminar dengan tema “Menyoal Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKM) – Kedudukan, Kewenangan dan Pertanggungjawaban Keuangan” ini terbilang cukup unik. Karena sejatinya seminar tentang PP 56 tahun 2021 dilakukan oleh kalangan penggiat industri musik.

Kali ini, webinar yang berdurasi dua jam, dilakukan oleh para akademisi Hukum Administrasi Negara dan Tata Negara, tanpa keterlibatan pembicara dari industri musik. Sehingga webinar ini mencoba mengupas permasalahan dalam konteks keilmuan murni dan steril dari kepentingan-kepentingan bisnis yang mungkin ada dalam industri musik.

Boleh jadi, ICLD memandang perlu untuk membedahnya dengan para pakar hukum, para narasumber tersebut,  sebut saja; Prof. Dr. Agus Sardjono, S.H., M.H., (Guru Besar FH UI),  Sony M. Sikumbang, S.H., M.H. (Dosen Perundang-undangan FH UI), Andi Sandi A.T. Tonralipu, S.H., LL.M. (Dosen Hukum Tata Negara FH UGM), Dr. Dian Puji N. Simatupang, S.H., M.H. (Dosen Keuangan Negara FH UI).

Saat membuka seminar secara virtual, Ketua Penyelenggara, Dr. Fitriani A. Sjarif S.H., M.H. mengatakan, ICLD sebagai pusat riset hukum dan peraturan perundang-undangan fokus pada persoalan perundang-undangan terkini.

“Jadi kami melihat eksistensi LMKN dibedah dari sisi bagaimana peraturan perundang-undangan membentuk lembaga pelaksana (implementing agency) untuk memastikan peraturan perundang-undangan dapat dilaksanakan efektif,” kata Fitriani.

Selanjutnya Fitriani menceritakan, dalam peraturan perundang-undangan dijelaskan LMKN adalah  lembaga bantu pemerintah. Lebih lanjut pihaknya mau melihat apa itu lembaga bantu pemerintah, Hukum Administrasi Negara dan Hukum Tata Negara memiliki koridor tertentu dalam menyebut sebuah lembaga sebagai lembaga bantu pemerintah atau tidak.

Mengingat jika terdapat ketidakjelasan terhadap status lembaga bantu tersebut maka akan berdampak pada kedudukan, kewenangan, dan pertanggungjawaban keuangan lembaga itu sendiri.

Dikatakan juga LMKN disebut sebagai lembaga bantu pemerintah non APBN. Dalam hal ini bagaimana pertanggung jawaban dana dari LMK yang ditarik oleh LMKN. “Karena jika dilihat dari sifatnya ada  kecenderungan LMKN lebih memiliki sifat lembaga privat bukan sebagai lembaga public,” terang Fitriani.

Masih banyak orang awam yang mempertanyakan apa fungsi LMKN. Apalagi dalam pembicaraan yang ramai dan menasional tentang PP 56 tahun 2021 awal tahun ini , nama LMKN ini mencuat.

Pro Kontra dari banyak pihak mewarnai pembicaraan tersebut. Mulai dari kemudahan pembayaran dan harapan atas adanya laporan yang teratur dari sisi pro hingga tiadanya kuasa dari pencipta dan kekhawatiran atas pertanggungjawaban keuangan dari sisi yang kontra.

Namun dalam bahasan ini, Guru Besar di bidang Hak Kekayaan Intelektual,  Prof. Dr. Agus Sardjono, S.H., M.H. mengungkapkan, masalah polemik LKMN harus dilihat dari dua perspektif perdata dan perspektif administrasi negara.

“Kalau dilihat dari perspektif perdata, LKMN sebagai lembaga privat dibentuk berdasarkan undang-undang hak cipta. Sementara kalau dilihat dari sisi perspektif administrasi negara yang diatur melalui PP Nomor 56 tahun 2021 “Bahwa LKMN adalah lembaga bantu pemerintah,” ujar Agus Sardjono menegaskan.

Jika dilihat dari sisi perdata LKMN dimaksudkan untuk mewakili para user, yakni pencipta lagu dengan pengguna karyanya. Tapi perspektif perdata juga bisa didekati dengan pendekatan doktrinal.

“Sementara kalau dari sisi Administrasi negara yang melihat Menurut PP 56  2021 sebagai lembaga bantu pemerintah yang menangani urusan pemerintahan yang tidak tercakup oleh organ-organ pemerintah sesuai konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia,” papar Agus Sardjono.

Meski demikian, dalam PP 56 tahun 2021, diatur mengenai LMKN yang disebutkan sebagai – “Lembaga bantu pemerintah non-APBN” juga memiliki kewenangan untuk menghimpun royalti dan mendistribusikannya kepada para pencipta.

Hal tersebut menimbulkan banyak pertanyaan, antara lain : masalah hak cipta ini pada dasarnya adalah masalah keperdataan, sehingga harus ada kuasa dari pencipta kepada orang yang melakukan penghimpunan royalti. “LMKN mendapatkan kuasa dari siapa,” ujar Agus Sardjono.

Jika memang LMKN bisa melakukan penghimpunan uang masyarakat/royalti tanpa kuasa, maka LMKN bertindak sebagai badan hukum publik, sebagaimana halnya kantor-kantor pendapatan negara lainnya. “Jadi LMKN ini badan publik atau badan privat? Bagaimana pertanggungjawaban keuangan,” tanya Agus.

Hak Cipta atas pemanfaatan Ciptaan dan produk Hak Terkait di bidang lagu dan/atau musik sesuai dengan ketentuan Pasal 87, Pasal 89, dan Pasal 90, UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta./* Eddie Karsito

Trending

Exit mobile version