Bisnis dan Ekonomi

NEO-VOC DI KEMENTERIAN BUMN

Published

on

Medrial Alamsyah (Foto : Istimewa)

Jakarta, goindonesia.co – Gatra, edisi 29 Desember 2021, menurunkan Laporan Khusus tentang kisruh petani dengan PTPN V, diberi judul “Lahan Susut Pangkal Ribut”. Kasus berawal dari mandat lahan seluas 4000 ha dari 4 suku (Mailing, Domo, Dayun, dan Melayu) di Desa Pangkalan Baru, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, kepada Koperasi Sawit Makmur (Kopsa-M). Lahan itu kemudian diserahkan pada PTPN V melalui skema kerja sama  dengan pola Kredit Koperasi Primer Anggota (KPPA), dengan harapan mendapat nilai tambah ekonomi dengan mengelola kebun sawit.

Dalam surat pernyataan penyerahan hak atas tanah ulayat tertanggal 1 Agustus 2001 disebutkan, 4000 ha lahan yang diserahkan kepada PTPN V dipecah-pecah: kebun inti PTPN V 500 ha, kebun Plasma Kopsa-M 2000 ha, dan kebun sosial kemasyarakatan 1500 ha. Untuk membiayai kebun sawit tersebut, petani di bawah naungan Kopsa-M meminjam uang ke Bank Agro dengan PTPN V sebagai avalis. Uang pinjaman semua dikuasai oleh PTPN V yang bertugas membangun dan mengelola kebun sawit tersebut. Sesuai perjanjian, idealnya setelah 3 tahun lahan itu dikonvesri ke masyarakat melalui koperasi, hasil sawit dibeli oleh PTPN V, hasilnya 40% untuk dana perbaikan, 30% untuk bayar cicilan dan 30% untuk petani. 

Masalah terkuak ketika pada awal Desember 2016 Anthoni Hamzah (AH) terpilih sebagai Ketua Kopsa-M. Dia menolak menandatangani pengakuan hutang koperasi sebesar Rp 115 miliar yang disodorkan PTPN V karena banyak kejanggalan. Belakangan diketahui dari dokumen pengakuan utang pada tahun 2003 dan 2006 untuk pembangunan 2050 ha, dengan total utang Rp 52,9 miliar, hanya 400 ha yang dijadikan kebun.  Kemudian ada penjualan lahan ke pihak ketiga oleh PTPN V berbasis kuasa lisan pemilik lahan.

Terkuaknya persoalan-persoalan di atas mendorong Kopsa-M pimpinan AH melakukan dua langkah taktis: membawanya ke pengadilan dan meminta kebun sawit yang ada dikelola sendiri. Yang pertama tidak dapat diterima atau niet ontvankelijk verklaard (NO),namun langkah kedua terbukti pengelolaan oleh koperasi membuahkan hasil yang lebih baik. Akan tetapi langkah AH tersebut berujung berbagai drama mulai dari munculnya pengurus tandingan, pembekuan rekening bersama sehingga Kopsa-M tidak bisa membayar gaji karyawan, sampai penolakan PTPN V menerima buah sawit Kopsa-M dan kriminalisasi AH dan dua orang petani anggota Kopsa-M.

Tentu saja persoalan yang dikemukakan pihak Kopsa-M di atas dibantah pihak PTPN V. Dalam laporan khusus Gatra di atas pihak PTPN V mengatakan bahwa luas lahan tidak sesuai dengan janji Kopsa-M, hanya ada 1650 ha, sehingga PTPN tidak mendapatkan kebun inti seluas 500 ha. Walaupun demikian PTPN V tetap berbaik hati mengelola semua lahan yang ada dan menanggung beban sebagai avalis dengan membayar utang Kopsa-M ke Bank sesuai perjanjian. Konon, PTPN V sudah menanggung hutang Kopsa-M sebesar Rp 100 miliar.

Dari perspektif manajemen bantahan ini terasa janggal. Bagaimana mungkin ketika terjadi perbedaan angka demikian besar kemudian manajemen PTPN V tetap mengeksekusi peminjaman dana ke bank dengan segala konsekwensinya sebagai avalis. Adakah manajemen (apalagi perusahaan plat merah) yang punya keberanian seperti itu, yakni mengeksekusi transaksi yang tidak sesuai perjanjian, hanya dengan alasan “berbaik hati”? Keganjilan ini semakin terasa karena — menurut Pengurus Kopsa-M — tidak ada surat komplain dari manajemen PTPN V perihal tersebut.

Terlepas dari versi mana angka luas lahan yang benar yang dijadikan pijakan pinjaman ke bank (2050 ha atau 1650 ha), kerugian koperasi yang harus ditanggung oleh PTPN V juga sangat janggal, apalagi bila kerugian itu dibebankan kepada Kopsa-M. Sebagai gambaran, jika dikelola dengan benar per hektar kebun sawit setidak bisa menghasilkan setidaknya bersih sebesar Rp 1 juta tiap bulan. Karena tiap petani memiliki 2 ha, sesuai perjanjian setidaknya per petani menerima Rp 660 ribu/bulan. Kenyataannya mereka hanya menerima Rp 50 ribu tiap bulannya.

Seperti dijelaskan di atas, seluruh uang pinjaman dikelola oleh PTPN V dan setelah berproduksi hasil kebun di bawah kendali PTPN V. Andaikata setelah berproduksi dikelola oleh petani anggota Kopsa-M, karena hasil panen wajib dijual ke PTPN V dan uang penjualan disimpan dalam rekening bersama. Bilamana ada penyimpangan yang dilakukan Kopsa-M, manajemen PTPN V seharusnya bisa melakukan berbagai aksi manajemen untuk mencegah penyimpangan sehingga mereka tidak harus sampai menanggung beban hutang sampai Rp 100 miliar.

Berbasis fakta-fakta dan berbagai informasi di atas, sangat logis bila kita simpulkan: pertama, karena proses ini sudah berlangsung kurang lebih 13 tahun, masalah yang terkuak sejak tahun 2017 (ketika AH terpilih) jelas hanya mungkin terjadi bila ada kongkalikong antara oknum-oknum PTPN V dan Kopsa-M sebelum AH. Kedua, masalah yang tersisa ada dua, yaitu masalah bisnis berupa hutang piutang antara PTPN V dan Kopsa-M dan masalah hukum oknum-oknum lama yang terlibat.

Sejatinya, bila ada itikad baik, tidak susah bagi manajemen PTPN V maupun pejabat kementerian BUMN saat ini untuk memverifikasi data dan mengambil keputusan-keputusan manajemen yang diperlukan. Hal ini tampak sudah terbaca oleh Komisaris Independen PTPN V Budiman Sudjatmiko seperti terungkap dalam laporan khusus Gatra di atas: dia mempertemukan kedua pihak yang bertikai, tukar menukar dokumen dan berunding. Tapi kemudian “tampaknya komunikasi terputus,” kata Budiman.

Alih-alih adu/verifikasi data dan berunding seperti saran Budiman, baik manajemen PTPN V maupun Kementerian BUMN memilih langkah lain. Ada indikasi kuat pihak PTPN V melakukan tindakan-tindakan tidak layak sebagai perusahaan milik negara (baca: rakyat) seperti mencoba menganulir kepemimpinan AH melalui Rapat Anggota Luar Biasa ilegal yang memilih karyawan PTPN V (yang bukan anggota koperasi) sebagai ketua dan diistimewakan oleh PTPN V; mengkriminalisasi Pengurus Kopsa-M dan 2 orang petani anggota Kopsa-M; karyawan memanen kebun petani dengan dikawal preman (adu domba grass root?); menghalangi RAT Kopsa-M yang memilih kembali AH sebagai ketua; dan berbagai tindakan lainnya.

Indikasi keterlibatan PTPN V makin meyakinkan ketika Gatra juga memuat laporan SETARA ada 10 koperasi lain yang bernasib mirip dengan Kopsa-M. Hanya saja 10 koperasi tersebut belum memiliki data selengkap Kopsa-M.

Dari “gesture” pejabat-pejabat kementerian BUMN, tampaknya mereka mendukung “kebijakan” manajemen PTPN V itu, antara lain terlihat dari tidak adanya upaya serius memediasi pertikaian ini.

Mengapa PTPN V dan (pejabat) Kementerian BUMN memilih langkah-langkah “aneh” di atas? Kuat dugaan bahwa langkah-langkah itu aman dan mudah bagi aktor-aktor yang terlibat, kecuali petani. Bila pengurus Kopsa-M mau menanda-tangani surat pengakuan hutang, maka manajemen PTPN V berhak menyita seluruh lahan petani, maka aset PTPN V bertambah sebagai penutup kerugian, dan para penjahat — baik dalam PTPN, maupun di Kopsa-M dan pihak lain yang terlibat — pun aman. Petani dan koperasinya? Mereka memutar roda kehidupan baru yang mungkin sama memilukan.

Jika dugaan skenario di atas benar, sejatinya PTPN V dan kementerian BUMN tak ubahnya seperti Neo-VOC, karena tidak ada bedanya dengan VOC di era Hindia Belanda dulu. (***)

Ditulis Oleh : Medrial Alamsyah (Direktur Eksekutif SIGI Indonesia, Pengamat Manajemen Publik)

Trending

Exit mobile version