Otto Toto Sugiri (Foto: Forbes)
Jakarta, goindonesia.co – Nama Otto Toto Sugiri muncul di urutan ke-19 dalam daftar 50 orang terkaya Indonesia 2021 yang dirilis oleh Forbes. Suatu pencapaian yang fantastis mengingat posisi ini adalah debutnya dalam daftar ini.
Otto Toto Sugiri mempunyai kekayaan USD2,5 miliar atau setara Rp35,7 triliun (kurs Rp14.300 per USD).
Namun, kekayaannya hari ini adalah buah manis dari usaha yang telah dia lakukan selama ini. Sejak 1989, dia telah banyak berinovasi untuk kemajuan bidang teknologi Indonesia. Chief Operating Officer (COO) Dattabot, Tom Malik, bahkan menjulukinya sebagai “Bill Gates-nya Indonesia”. “Sugiri itu ibaratkan Bill Gates dari Indonesia,” kata dia, dikutip dari Forbes, Jakarta, Kamis (16/12/2021).
Berikut perjalanan Otto Toto Sugiri yang merupakan co-founder dan presiden direktur DCI Indonesia. Perusahaan tersebut kini menjadi pusat data terbesar di Indonesia. Harga sahamnya pun meroket sejak terdaftar pada Januari 2021 lalu
1989: Mendirikan Sigma Cipta Caraka
Sigma Cipta Caraka merupakan perusahaan pertama yang Sugiri dirikan. Kala itu, Sigma adalah salah satu perusahaan software paling awal di Indonesia dan berhasil menembus penjualan terbesar, mengalahkan provider software impor.
Sugiri mendirikan Sigma setelah meninggalkan pekerjaannya di Bank Bali. Dia mendirikan perusahaan itu bersama Marina Budiman yang hingga kini masih menjadi rekannya dengan modal sekitar USD200 ribu.
Tahun-tahun itu, sektor perbankan tengah berkembang pesat berkat berlakunya aturan baru dari Pemerintah. Klien pertama Sigma adalah salah satu dari bank baru tersebut. Tak perlu menunggu setahun, Sigma telah berhasil meraup pendapatan USD1,2 juta.
1994: Buat Indonesia Berinternet Lewat Indonet
Salah satu teman Sugiri suatu hari mendatanginya dengan ide mendirikan penyedia layanan internet pertama di Indonesia. Tujuan mereka sesederhana agar para pelajar Indonesia dapat mengakses materi pembelajaran dengan murah dan cepat.
Dengan diluncurkannya Indonet pada 1994, untuk pertama kalinya pelajar bahkan seluruh masyarakat Indonesia dapat berselancar di situs web yang sama dengan orang-orang di seluruh dunia.
“Masa itu, buku itu mahal dan butuh waktu untuk sampai ke Indonesia,” kenangnya.
2000: Melebarkan Sayap dengan BaliCamp
BaliCamp adalah perusahaan sekunder Sigma. Untuk menjalankannya, Sugiri tinggal di sebuah resort yang terletak di Bali dengan gaya hidup yang murah dan tenang. Langkah ini dia lakukan untuk menggaet talenta baik dari lokal maupun internasional.
Salah satu proyek yang dilakukan BaliCamp adalah membuat pengecek ejaan bahasa Indonesia untuk Microsoft. Co-founder Tokopedia yang kini telah merger menjadi GoTo, Leontinus Alpha Edison, mengatakan bahwa BaliCamp kala itu sangat populer dan menjadi tempat terkeren untuk bekerja.
Sayangnya, BaliCamp harus tutup imbas peristiwa bom Bali pada 2002. Meskipun begitu, Sigma sama sekali tak terdampak akan hal ini bahkan menjadi lebih kuat dan berhasil bertahan dari krisis finansial Asia.
2008: Menjual Saham Sigma Pada 2008, Sugiri menjual 80% kepemilikan Sigma kepada PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) seharga USD35 juta. Telkom menambahkan bahwa perjanjian itu akan membuat perusahaan jadi terbuka untuk publik. Namun, janji tersebut tidak terwujud. Akhirnya, Sugiri menjual sisa kepemilikan sahamnya senilai USD9 juta dua tahun kemudian dan berpikir untuk pensiun.
2011: Menangkap Peluang bersama DCI
Ide pensiun itu tidak berlangsung lama dan langsung pupus setelah Pemerintah berniat membangun pusat data yang didirikan oleh orang Indonesia sendiri. Sebagai seseorang dengan jiwa wirausaha yang tinggi, Sugiri bersama enam orang rekannya tidak tinggal diam atas peluang ini.
Dia lalu mendirikan DCI Indonesia. Agar mendapatkan klien besar, Sugiri bahkan berusaha keras agar perusahaannya itu mendapatkan sertifikasi Tier IV pada 2014 yang merupakan sertifikasi level tertinggi.
Untuk mendapatkan sertifikasi itu, Sugiri harus mengeluarkan budget 60% lebih banyak daripada sertifikasi Tier III. Tak hanya itu, persentase online perusahaan pusat data harus 99.995% dan memiliki cadangan daya sebagai antisipasi jika terjadi mati listrik untuk mendapatkan sertifikasi itu.
“Saya tertantang untuk membuat fasilitas dengan standar tertinggi, yang mana tidak murah. Pusat data Tier IV menghabiskan uang lebih banyak 60% dibandingkan Tier III. Namun, ini adalah persoalan membangun kredibilitas,” papar Sugiri.
DCI kini menjadi pusat data terbesar Indonesia dan melayani lebih dari separuh kapasitas lokal negeri ini. Setelah terdaftar pada Januari 2021, nilai saham DCI meningkat 11.000% dan menjadi salah satu perusahaan paling bernilai di Indonesia.
Kapasitas pusat data Indonesia yang sesungguhnya adalah 81 MW, kalah jauh dengan Singapura yang mencapai 613 MW. Mengenai hal ini, pria yang penampilannya identik dengan kaos hitam dan rambut keperakan ini menyampaikan keprihatinannya.
“Indonesia memiliki populasi terbesar di wilayah ini (Asia Tenggara), tetapi memiliki kapasitas data per kapita terendah di dunia,” ujarnya dalam wawancara pada Oktober lalu. Namun, dia melihat hal ini sebagai sebuah peluang. Dia membangun empat pusat data seluas 8,5 hektare di Cibitung, Jawa Barat. Rencananya, pusat data ini akan menampung hingga 300 MW untuk memenuhi permintaan di masa depan.
DCI juga bekerja sama dengan beberapa klien besar. Sebagai contoh adalah miliarder Anthoni Salim yang memiliki saham 11% di perusahaan itu untuk memperluas strategi kerja sama. DCI akan membuat Grup Salim memperluas kapasitas datanya menjadi 600 MW.
Grup perusahaan elit lain yang juga bekerja sama dengan DCI adalah Triputra Group dan grup Sinar Mas. Grup Ciputra juga dikabarkan tertarik untuk merambah ke industri pusat data ini. Namun, belum ada rencana spesifik untuk menindaklanjuti niat tersebut. “Pusat data di Indonesia akan menjadi lebih kritis seiring dengan kemajuan internet global dan kesadaran perusahaan teknologi akan pentingnya untuk lebih dekat dengan para penggunanya. Target kami saat ini adalah menjadi pemain terbesar di Indonesia. Inilah arena bermain kami,” tegas Sugiri. (***)