Pasukan Angkatan Bersenjata Ukraina (AFU) (Foto : Photo : independent.co.uk, VIVA Militer)
Jakarta, goindonesia.co – Tak peduli sudah kehilangan belasan ribu prajurit dan alat utama sistem persenjataan, militer Ukraina tetap menggelar operasi kontra-ofensif di front timur. Sayangnya, serangan balik yang dilancarkan sama sekali tak membuat pasukan Rusia bergeming.
Media melaporkan dalam berita Rabu 5 Juli 2023, Angkatan Bersenjata Ukraina (AFU) melancarkan gelombang ketiga serangan balik di sepanjang Subgai Dniper, Republik Rakyat Donetsk (DPR) dan Zaporizhzhia.
Gelombang ketiga serangan balik diyakini sengaja digelar, sebagai momentum mendapat perhatian negara-negara Barat yang akan menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
KTT NATO sendiri akan digelar di Vilnius, Lithuania, pada 11 hingga 12 Juli 2023 mendatang. Seperti yang diketahui, Ukraina sangat menginginkan dukungan persenjataan dari negara-negara anggota NATO.
Sebab menurut laporan Menteri Pertahanan Rusia, Jenderal Sergey Shoigu, sejak menggelar operasi serangan balik pada 4 Juni 2023 lebih dari 13.000 tentara Ukraina tewas.
Strategi kontra-ofensif militer Ukraina tak hanya diklaim gagal oleh Rusia. Mantan perwira tinggi Angkatan Bersenjata Prancis, Brigadir Jenderal Jean-Bernard Pinatel, juga mengemukakan keraguannya.
Serangan balik diibaratkan Pinatel sebagai misi bunuh diri tentara Ukraina. Sebab dalam pandangannya, militer Rusia memiliki keunggulan di seluruh sektor. Baca Juga : Operasi Senyap Pasukan Selatan dan Sparta Rusia Hancurkan Meriam Dua Moncong Ukraina.
“Saya sama sekali tidak percaya pada keberhasilan serangan balik Ukraina. Rusia memiliki keunggulan udara yang signifikan. Tetapi mereka juga memiliki keunggulan di lapangan,” ujar Pinatel.
“Bahkan, Ukraina sendiri mengakui bahwa mereka menembakkan 4.000 peluru sehari, sementara Rusia menembakkan 20.000,” katanya dikutip VIVA Militer dari Kantor Berita Rusia, TASS. Jenderal itu juga mengatakan bahwa rasio kerugian peralatan dan personel adalah 5 banding 1 untuk mendukung Rusia. Menurut Pinatel, rezim Kiev sangat terhambat oleh kurangnya sumber daya manusia.
“Dan saya tidak berpikir bahwa kerugian terbesar yang dihadapi Ukraina adalah jumlah peralatan militer yang begitu banyak, yang tidak selalu berkualitas tinggi, karena Barat memasok Kiev dengan peralatan usang,” ucap Pinatel.
“Kerentanan terbesar Ukraina adalah rakyatnya, atau lebih tepatnya kekurangan mereka. (Karena) para pejuang terbaiknya telah lama mati,” katanya melanjutkan.
Pinatel berani memastikan jika kekalahan Ukraina hanya tinggal menunggu waktu. Dan bagi NATO, Pinatel melempar kritik keras jika tindakan mendukung Ukraina dalam perang adalah hal yang sangat bodoh. “Percakapan tentang membantu Ukraina sampai menang benar-benar bodoh dan tidak masuk akal. Itu tidak akan menghasilkan apa-apa dan hanya akan meningkatkan jumlah kematian di antara pemuda Ukraina dan Rusia,” ujar Pinatel. (***)
*@www.viva.co.id