Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof Asrorun Niam Sholeh (di tengah) (Foto : @mui.or.id)
Jakarta, goindonesia.co – Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof Asrorun Niam Sholeh yang sedang berada di Mu’allimin Yogyakarta harus keluar dari acara karena permintaan Primetime talkshow dengan iNewsTV membahas tentang usulan ditiadakannya sidang Isbath Idul Fitri oleh Sekum PP Muhammadiyah, Prof Abdul Mu’thi, karena menurutnya Idul Fitri akan berbarengan.
Keberadaan Prof Niam di Muallimin Yogyakarta tersebut dalam rangka kegiatan Pra Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia. Sebelumnya, kegiatan Pra Ijtima Ulama dilaksanakan di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur membahas salam lintas agama. Kali ini, pada 8 dan 9 Maret 2024 di Mu’allimin Yogyakarta, Komisi Fatwa MUI membahas pengelolaan DAM Haji dan topik hubungan antar negara termasuk Islamophobia dan Genosida.
Setelah menjalani hari yang panjang karena kesibukan sejak pagi termasuk pra ijtima sanawi, pada Ahad dini hari Prof Niam istirahat di kamar model suite di Suara Muhammadiyah (SM) Tower yang disediakan panitia. Kamar itu sekelas hotel bintang tiga dan karena dimiliki Muhammadiyah, ada buku-buku terbitan SM Press di dalamnya.
“Jelang tidur, saya raih satu buku Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah Vol 1, saya buka dan ketemu bagian Masalah Hisab dan Ru’yat, temanya pas dengan waktu puasa, jelang sidang isbat, pas karena baru saja Prof Mu’ti mengusulkan menghapus sidang isbat idul fitri, pas karena baru saja saya diminta membahas hal serupa, pas karena hari ahad ini saya mengikuti sidang isbath, ” ungkapnya kepada MUIDigital, Ahad (10/03/2024).
Prof Niam tercengang membaca halaman 193 buku tersebut yang isinya,
صوم و الفطر بالرؤية ولا مانع بالحساب….
إذا أثبت الحاسب عدم وجود الهلال أو وجوده مع عدم إمكان الرؤية و رأى المرء إياه في الليلة نفسها فأيهما المعتبر؟
قرر مجلس الترجيح أن المعتبر هو الرؤية
Artinya adalah, puasa dan berbuka itu (dilaksanakan) dengan rukyah, dan tidak ada halangan dengan hisab. apabila ahli hisab menetapkan bulan belum tampak (tanggal) atau sudah wujud tetapi tidak kelihatan, padahal kenyataannya ada orang yang melihat pada malam itu juga, manakah yang mu’tabar. Majelis Tarjih memutuskan ru’yah lah yang mu’tabar. (h. 293)
Namun dia menambahkan, sebagaimana hidup yang dinamis, maka pandangan keagamaan juga bersifat dinamis memungkinkan perubahan. Metode Muhammadiyah dalam menentukan hilal juga bagian dari dinamika sehingga bisa berubah.
“Saya pun bisa mafhum, akhirnya saya tidur terlelap di kamar Suara Muhammadiyah Tower tadi malam berkawan buku Himpunan Tarjih Muhammadiyah di sebelah, ” pungkas Kiai Niam. (***)
*Majelis Ulama Indonesia