Rapat Pertemuan Kelompok Kerja Advokasi Pengendalian Resistensi Antimikroba, di Hotel Four Points Thamrin, Jakarta Pusat (Foto : Novrizaldi, @www.kemenkopmk.go.id)
Jakarta, goindonesia.co – Asisten Deputi Bidang Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Nancy Dian Anggraeni menyampaikan, resistensi antimikroba (Antimicroba Resistance/AMR) berpotensi mengganggu pencapaian berbagai program pembangunan nasional di bidang pengendalian penyakit dan ketahanan pangan.
AMR merupakan suatu kondisi dimana mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, dan parasit) mengalami perubahan sehingga menjadi kebal atau resisten terhadap antimikroba yang seharusnya mampu membunuh atau menghambat pertumbuhannya. AMR merupakan ancaman serius bagi kesehatan manusia dan hewan, karena dapat menyebabkan penyakit yang semula dapat disembuhkan dengan antimikroba menjadi sulit atau bahkan tidak dapat disembuhkan.
“Kegagalan pengobatan penyakit menular akibat resistensi antimikroba telah menjadi masalah kesehatan masyarakat dan kesehatan hewan yang berdampak pada peningkatan beban pembiayaan kesehatan masyarakat dan kesehatan hewan,” ujar Nancy dalam Rapat Pertemuan Kelompok Kerja Advokasi Pengendalian Resistensi Antimikroba, di Hotel Four Points Thamrin, Jakarta Pusat, pada Selasa (28/5/2024).
Nancy menyatakan, AMR diperkirakan dapat menimbulkan beban kesehatan dan ekonomi yang semakin signifikan di masa depan. Karena itu, agar kebijakan pengendalian resistensi antimikroba dapat tepat sasaran, diperlukan penguatan data dan fakta. Perlu dikembangkan konsep pemantauan berkala terhadap potensi terjadinya resistensi antimikroba sebagai ancaman kesehatan masyarakat.
Pemerintah melalui Peraturan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pengendalian Resistensi Antimikroba (RAN PRA) Tahun 2020-2024, merupakan kebijakan nasional yang mengatur koordinasi lintas sektor dalam pelaksanaan rencana aksi pengendalian AMR dengan Pendekatan One Health.
“Pemerintah sudah melakukan pemantauan dan evaluasi penerapan program pengendalian resistensi antimikroba pada tahun 2023 dan pada tahun ini akan dilaksanakan pemantauan dan evaluasi sebagai akhir dari periode pelaksanaan RAN PRA tersebut,” ujar Nancy.
Rapat POKJA ADVOKASI dihadiri oleh Anggota Kelompok Kerja (Pokja) Advokasi dan perwakilan Kementerian/Lembaga dan mitra pembangunan bukan anggota Pokja Advokasi, antara lain Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian, Kementerian Keuangan, Bappenas, Kemendagri, BRIN, Bappenas, Kemenhan, BPOM, KKP, Dr. dr. Harry Parathon, Sp.OG (K) KPRA, dr. Purnamawati, Sp.A (K) KPRA, perwakilan WHO dan FAO Indonesia.
Dalam rapat POKJA ADVOKASI disepakati beberapa poin, yaitu: Pengusulan indikator AMR kepada Bappenas untuk RPJMN 2025-2029; Advokasi untuk pelibatan sektor lingkungan dalam memantau potensi cemaran AMR di lingkungan; memperkuat pembinaan pengawasan penggunaan antimikroba di daerah, penyusunan pedoman surveilans kolaboratif, dan penyusunan RAN PRA periode selanjutnya dengan pelibatan sektor swasta, pelaku usaha, organisasi profesi, serta pihak terkait lainnya. Selanjutnya mulai bulan Juli tahun 2024, akan dilaksanakan kegiatan monitoring dan evaluasi pelaksanaan RAN PRA tahun 2024, di mana hal ini diperlukan partisipasi dari semua Kementerian/Lembaga untuk melaporkan capaian indikator sasaran dan input. (***)
*Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan