Anggota Komisi VI DPR RI Amin Akram. Foto: Oji/nr
Jakarta, goindonesia.co – Anggota Komisi VI DPR RI Amin Akram meminta pemerintah untuk bersikap tegas dalam mengelola jalur distribusi minyak goreng. Hal tersebut mengingat Indonesia merupakan salah satu penghasil Crude Palm Oil (CPO) terbesar di dunia, dan memiliki produksi yang berlebih.
“Sekarang dari sisi produksi bahan bakunya itu berlimpah. Yang kedua, pemerintah punya semua aparat begitu, mereka juga dibayar dengan gaji negara, kemudian produsen-produsennya CPO produsen minyaknya juga pemerintah tahu tempatnya di mana jalur distribusinya gitu loh. Ini yang dibutuhkan adalah soal ketegasan pemerintah, sekali lagi ketegasan pemerintah untuk menegakkan aturannya,” kata Amin saat ditemui media di Gedung Nusantara I, DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (13/2/2023).
Amin menambahkan, seharusnya sebagai penghasil CPO yang besar, Indonesia tidak mengalami krisis minyak goreng. Ia menghitung, bahwa seandainya 20 persen dari CPO dialokasikan untuk minyak goreng saja, angka tersebut sudah memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga dalam negeri. Sisanya, sebanyak 80 persen sebenarnya bisa diekspor atau dimanfaatkan untuk bahan-bahan lainnya.
“Tapi, kenyataannya krisis minyak yang kemarin sempat terjadi delapan bulan, yaitu di triwulan terakhir tahun 2021 sampai triwulan awal 2022 itu. Lalu, kemudian terselesaikan selama beberapa bulan belakangan dengan hadirnya MinyaKita sekarang ternyata hilang lagi dari pasaran dan masyarakat banyak yang mengajukan masalah ini kepada kita,” imbuh Politisi Fraksi PKS DPR RI itu.
Lebih lanjut, terhadap adanya temuan penimbunan minyak goreng di beberapa daerah, ia mengatakan pemerintah harus bersikap tegas dengan menindaklanjuti temuan tersebut. Serta, harus memberikan sanksi kepada distributor yang terbukti menimbun minyak goreng hingga tidak dapat terdistribusi di masyarakat.
“Terhadap yang melakukan seperti itu. pemerintah harus tegas. Kalau pemerintah tidak tegas, sekali lagi, tidak ada sanksi hukum yang tegas, para produsen yang melakukan penimbunan itu tidak jera. Sekali lagi, hukum itu tidak artinya, aturan itu tidak ada artinya kalau tidak ada sanksi dan sanksi itu juga tidak ada artinya kalau hanya di atas kertas,” tutupnya. (***)
(Sumber : Sekretariat Jenderal DPR RI, @/www.dpr.go.id)