Wakil Presiden Republik Indonesia, Prof KH Ma’ruf Amin saat menghadiri acara tasyakur Milad Majelis Ulama Indonesia ke-48 (Dokumentasi : @mui.or.id)
Jakarta, goindonesia.co — Wakil Presiden Republik Indonesia, Prof KH Ma’ruf Amin menghadiri acara tasyakur Milad Majelis Ulama Indonesia ke-48. Wakil Presiden tampak mengenakan baju adat Palembang dibalut songket berwarna merah.
Acara Milad kali ini memang mengusung tema “Memperkokoh Persatuan dalam Bingkai Keberagaman Menuju Indonesia yang lebih Sejahtera dan Bermartabat”. Tidak heran bila para alim kiai petinggi MUI mengenakan baju adat khas daerah-daerah yang ada di Indonesia.
Wapres dalam sambutannya mengingatkan kembali agar MUI lebih giat dan lebih memperkokoh visi sebagai pelayan serta pelindung umat. Salah satunya mengawal umat dari pemikiran yang menyimpang.
Kiai Ma’ruf menyebut acara Milad harus dijadikan momentum tansyit al-khathwah wa al-harakah yaitu mempergiat lagi langkah serta pergerakan yang selama ini diperjuangkan MUI.
Juga sebagai momen tashihul khatwah wal harakah, alias perbaikan serta evaluasi, khawatir ada beberapa langkah atau kiprah MUI yang ternyata sedikit meleset dari yang seharusnya perlu diluruskan kembali.
“(Acara Milad kali ini) sekaligus juga menjadi momentum at-tansyit wa tashih,” tekan Ketua Umum MUI periode 2015-2020 itu.
Menurutnya, semua hal tersebut harus dilandasi dalam kerangka menjalankan visi Majelis Ulama Indonesia.
“Visi Majelis Ulama itu dua, khadimul ummah (pelayan umat) wa shadiqul hukumah (dan mitra pemerintah). Saya menyebutnya ini rel, jadi karena itu Majelis Ulama ini, ada relnya,” terangnya.
Wapres Ma’ruf menegaskan bahwa MUI tidak boleh keluar dari rel tersebut. Wapres mengibaratkan MUI seperti kereta yang harus berjalan di atas relnya dan tidak bisa dibawa ke sembarang jalur. Menurutnya bagi siapapun yang ingin berkhidmah untuk MUI, harus mengikuti rel yang sudah ada.
Cicit dari Syekh Nawawi Banten itu memaparkan di antara langkah konkret MUI sebagai pelayan umat (khadimul ummah) adalah kerja MUI dalam wiqayah wa himayatul ummah (menjaga dan melindungi umat).
“Karena itu, salah satu pekerjaan Majelis ulama itu adalah af’al wiqaiyah dan af’al himaiyah, kerja-kerja menjaga dan mengawal umat.”
Di antaranya, jelas Kiai Ma’ruf adalah menjaga umat ‘anil afham al-munharifah, dari pemahaman-pemahaman yang menyimpang.
“Paham-paham ini ada yang ekstrem ke kanan dan ada pula yang ekstrem ke kiri,” jelasnya.
Menurutnya, pemahaman ekstrem ke ke kanan adalah kelompok yang enggan dan tidak toleran atas adanya keragaman pendapat dalam dalil syariat yang memang terbuka untuk beragam interpretasi.
Tetapi ada pula kelompok ekstrem kiri yang disebut Wapres sebagai kelompok yang menoleransi penyimpangan atas nama keragaman pendapat.
“Tetapi ada orang juga yang inhiraf (penyimpangan) dianggap sebagai perbedaan (ikhtilaf). (Padahal) ini ada perbedaan istilahnya antara ikhtilaf (keragaman pendapat) dan inhiraf (penyimpangan agama),” tegasnya.
Wapres menekankan untuk membedakan kedua istilah itu supaya tidak campur aduk dan terkesan bias. Menanggapi kedua kelompok ekstrem di atas, Wapres Ma’ruf yang merupakan Kiai alim dengan pengetahuan Islam yang luas itu mengutip kaidah fikih:
لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيْهِ، وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ
“Tidak diingkari terjadinya perbedaan, tapi yang diingkari itu sesuatu yang sudah mujma’ alaih (disepakati keharamannya), yang sudah ma’lumun minaddini bidlaruri, yang sudah given, tahu-tahu ada pendapat yang berbeda, itu bukan ikhtilaf (keragaman) tapi itu inhiraf (penyimpangan) namanya,” papar Kiai Ma’ruf.
“Ikhtilaf (keragaman pendapat) itu ditoleransi, inhiraf (penyimpangan agama) itu diamputasi!,” tegas Wapres RI yang kemudian disambut riuh tepuk tangan para tamu undangan acara Milad ke-48 Majelis Ulama Indonesia di Gedung Sasana Kriya, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, Rabu (26/7/2023). (***)
*@mui.or.id