Berita

Komisi Fatwa MUI: Sertifikasi Halal Metode Self Declare Rentan, Harus Ekstra Teliti

Published

on

Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof KH Asrorun Ni’am Sholeh (Foto : @mui.or.id)

Jakarta, goindonesia.co – Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Miftahul Huda menyatakan, sertifikasi halal melalui self declare mengandung kerawanan.

Untuk itu, Kiai Miftah mengingatkan, pihak-pihak yang terlibat dalam proses sertifikasi halal, khususnya melalui self declare ini harus berhati-hati dan ekstra teliti.

“Serta mematuhi standar halal yang berlaku. Harus benar-benar memastikan bahwa produk tersebut merupakan produk yang sudah jelas kehalalannya dan proses produksi sederhana. Juga harus memperhatikan titik-titik kritis dalam proses halal,” kata Kiai Miftah kepada awak media, Senin (30/9/2024).

Hal ini menanggapi sebuah video dari masyarakat yang viral di media sosial yang menginformasikan temuan adanya produk pangan dengan nama tuyul, tuak, beer, dan wine yang mendapatkan sertifikasi halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).

Sementara sesuai standar fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), hal itu tidak dibenarkan. Merespons itu, MUI melakukan konfirmasi, klarifikasi dan pengecekan. Selain itu, MUI langsung melakukan investigasi dan menggelar pertemuan untuk mencari titik terang atas kasus ini.

Ketua MUI Bidang Fatwa Prof KH Asrorun Ni’am Sholeh memimpin pertemuan tersebut yang digelar secara hybrid di Kantor MUI Pusat, Jalan Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat, pada Senin sore (30/9/2024).

Hasil investigasi dan pendalaman, terkonfirmasi bahwa informasi tersebut valid. Produk-produk tersebut memperoleh sertifikasi halal dari BPJPH melalui jalur self declare, tanpa melalui audit lembaga pemeriksa halal (LPH), dan tanpa penetapan kehalalan melalui Komisi Fatwa MUI.

“Penetapan halal tersebut menyalahi standar fatwa MUI, juga tidak melalui Komisi Fatwa MUI. Karena itu, MUI tidak bertanggung jawab atas klaim kehalalan terhadap produk-produk tersebut,” kata Prof Ni’am.

Prof Ni’am mengimbau agar semua pihak yang berperan dalam penetapan kehalalan produk melalui mekanisme self declare harus berhati-hati dan lebih teliti, serta memperhatikan titik-titik kritis dalam proses penetapan halal.

Ketua MUI Bidang Fatwa ini mengingatkan, sertifikasi halal melalui self declare yang bermasalah ini dapat merusak kepercayaan publik. Sebab, apabila kepercayaan publik ini rusak, bisa berdampak buruk bagi upaya penjaminan produk halal.

“Masyarakat harus diyakinkan dengan kerja serius kita. Kalau masyarakat sudah tidak percaya, bisa hancur. Jangan sampai mengejar target kuantitatif, jadinya yang keluar adalah halal-halal an,” tegasnya.

Lebih lanjut, Prof Ni’am menyampaikan, pihaknya akan segera koordinasi dengan BPJPH untuk mencari jalan keluar terbaik agar kasus serupa tidak terulang.

“Saya akan segera komunikasi dengan teman-teman Kemenag, khususnya BPJPH untuk mendiskusikan masalah ini,” ungkapnya.

Kasus serupa sebelumnya juga pernah terjadi dalam kasus wine halal yang dikeluarkan oleh BPJPH beberapa waktu lalu. Kasus tersebut berujung pada pencabutan sertifikasi halal, pemecatan pendamping halal, dan pelaporan kepada aparat penegak hukum.

Lebih lanjut, Guru Besar Ilmu Fikih UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menyatakan, sesuai dengan ketentuan dalam sertifikasi halal, penetapan kehalalan produk harus mengacu pada standar halal yang ditetapkan oleh MUI.

 “Sementara penerbitan Sertifikat Halal terhadap produk-produk tersebut, tidak melalui MUI dan menyalahi fatwa MUI tentang standar halal”, tegasnya.

Berdasarkan Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2003 tentang Standarisasi Halal, ada empat kriteria penggunaan nama dan bahan. Di antaranya tidak boleh menggunakan nama dan/atau simbol makanan dan/atau minuman yang mengarah kepada kekufuran dan kebatilan.

“Sesuai dengan pedoman dan standar halal, MUI tidak bisa menetapkan kehalalan produk dengan nama yang terasosasi dengan produk haram, termasuk dalam hal rasa, aroma, hingga kemasan. Apalagi produk dengan nama yang dikenal secara umum sebagai jenis minuman yang dapat memabukkan” jelasnya.

Selain itu, dalam ketentuan Fatwa MUI Nomor 44 tahun 2020 tentang penggunaan nama, bentuk dan kemasan produk yang tidak dapat disertifikasi halal, produk halal tidak boleh menggunakan nama dan/atau simbol makanan dan/atau minuman yang mengarah kepada nama benda atau binatang yang diharamkan, termasuk babi dan khamr atau alkohol.

“Kecuali, produk tersebut termasuk dalam produk tradisi (‘urf) dan sudah dipastikan tidak mengandung unsur yang diharamkan, seperti bakso, bakmi, bakpia, dan bakpao,” kata Prof Ni’am yang juga Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah ini. (***)

*MUI – Majelis Ulama Indonesia

Trending

Exit mobile version