FGD bertema “Pengembangan Infrastruktur Keselamatan Fasilitas Nuklir” di Kawasan Sains dan Teknologi (KST) B.J. Habibie Serpong (Foto : @brin.go.id)
Tangerang Selatan, goindonesia.co : Dalam rangka menyongsong rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) berencana akan melakukan pengembangan infrastruktur fasilitas nuklirnya, terutama yang memiliki tingkat keselamatan dan keamanan yang tinggi.
“Fokus dari kegiatan ini terkait dengan rencana pembangunan 19 infrastruktur yang harus dipenuhi, tetapi kita hanya mengambil yang safety sehingga kita mengambil 5 infrastruktur,” ujar Muhammad Budi Setiawan, Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Teknologi Reaktor Nuklir (PRTRN) – BRIN mewakili Kepala PRTRN BRIN dalam Forum Group Discussion (FGD) bertema “Pengembangan Infrastruktur Keselamatan Fasilitas Nuklir” di Kawasan Sains dan Teknologi (KST) B.J. Habibie Serpong, Rabu (12/6).
Budi menyampaikan kegiatan ini juga membahas rencana tahapan pembangunan PLTN di Indonesia yang saat ini sudah memasuki fase ke-2. ”Sepuluh tahun yang lalu kita telah melakukan fase pertama dan kini kita mulai masuki fase ke-2. Nantinya akan ada benang merah yang bisa kita ambil dari survei yang telah dilakukan tersebut, output yang menjadi sebuah rekomendasi, dan juga tulisan ilmiah yang bisa dipublikasikan,” ungkapnya.
Budi menyebut sudah ada beberapa calon tapak untuk pembangunan PLTN dan beberapa pihak ketiga yang sudah menjalin hubungan kerja sama. “Ada beberapa calon tapak yang potensial dan sudah dilakukan pengkajian disana. Ada pula tawaran berbagai jenis reaktor yang cukup gencar dari berbagai vendor, sehingga semangat pembangunan PLTN menjadi besar kembali,” katanya.
Pengembang Teknologi Nuklir Ahli Utama PRTRN – BRIN, Yarianto Sugeng Budi Susilo menyampaikan alasan mengambil lingkup keselamatan nuklir adalah atas hasil jajak pendapat yang sudah pernah dilakukan selama ini yakni terkait dengan respon dari responden yang kebanyakan memang masih takut atau berkutat pada masalah kecelakaan nuklir, kontaminasi radioaktif, dan juga limbah radioaktif.
“Ini memang masalah utamanya ada pada keselamatan nuklir, sehingga kita pilih 5 dari 19 infrastruktur, kita hanya fokus pada masalah keselamatan nuklir. Infrastruktur keselamatan nuklir, proteksi radiasi, tapak dan pendukungnya, kemudian proteksi lingkungan, kesiapsiagaan kedaruratan nuklir, pengelolaan limbah radioaktif dan satu lagi yaitu organisasi. Organisasi ini memang sangat penting, dan merupakan kunci. PLTN go atau tidak, tergantung pada organisasi yaitu Nuclear Energy Program Implementation Organization (NEPIO),” jelasnya.
Sementara itu, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Agus Puji Prasetyono menekankan perlunya mengubah penggunaan energi fosil ke energi baru dan terbarukan. Menurutnya penggunaan energi baru atau nuklir diperlukan untuk menyeimbangkan dan mencapai target dekarbonisasi.
“Suhu semakin tinggi secara global, kita harus antisipasi, supaya tidak terus memakai energi fosil namun juga menggunakan energi non-fosil. Semua pembangkit kita arahkan ke energi terbarukan dan energi baru,” tegasnya.
Agus juga menyampaikan progres pembentukan NEPIO dalam upaya percepatan pembangunan PLTN pertama di Indonesia. “Di sisi pemerintah, kita sudah diskusi dan melakukan koordinasi. Sekitar 2 bulan lagi diharapkan target sudah selesai. Fungsi NEPIO penting sebagai koordinasi dalam pembangunan PLTN di Indonesia, ada keterlibatan sekitar 16 kementerian/lembaga di dalamnya,” jelas Agus.
Dalam memilih teknologi nuklir, Agus berpegang pada teknologi yang sudah teruji. “Kita tidak memilih teknologi tersebut dari luar negeri atau dalam negeri tetapi kita pilih yang sudah proven. Jika PLTN masuk sesuai target di tahun 2032 sudah beroperasi, di tahun 2060 kita menargetkan sekitar 54,3 Gigawatt,” harapnya.
Pada kesempatan yang sama, Deputi Bidang Pengkajian Keselamatan Nuklir – Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN), Haendra Subekti menjelaskan tentang perizinan dan regulasi infrastruktur ketenaganukliran. Skema perizinan reaktor daya terbagi menjadi dua yaitu kegiatan pra-perizinan dan perizinan berusaha.
“Kegiatan pra-perizinan ada review desain dan desain tapak, sedangkan dalam perizinan nanti izinnya hanya dua, yaitu izin konstruksi dan izin operasi,” jelas Haendra.
Dirinya munuturkan bahwa survei tapak dilakukan oleh pemerintah untuk identifikasi tapak potensial dalam rangka perencanaan wilayah. Beberapa aspek survei tapak diantaranya seperti kegempaan, gunung api, likuifaksi, dan tsunami.
Selain itu Haendra juga menjelaskan jika desain sangat penting dan harus melalui persetujuan BAPETEN. Setiap PLTN yang dibangun harus mendapatkan persetujuan desain baik generik atau standar dari BAPETEN. Permohonan review desain dan persetujuan desain dapat dilakukan oleh vendor, desainer, universitas atau pemilik. Desain rinci berbasis hasil evaluasi tapak menjadi salah satu persyaratan izin konstruksi.
Sementara itu, Pakar dan Pemerhati Nuklir, Adiwardojo menyampaikan Program Energi Nuklir Nasional (PENN) merupakan kegiatan perencanaan, persiapan, pembangunan, pengoperasian, perawatan dan dekomisioning beberapa PLTN yang dihasilkan secara bertahap untuk memenuhi kebutuhan pasokan listrik nasional.
“Tujuan PENN sendiri yaitu termanfaatkannya sistem energi nuklir sebagai bagian dari bauran energi nasional yang optimal, bersimbiotik dan bersinergi dengan sumber daya energi lainnya, serta mendukung terwujudnya keamanan pasokan energi yang aman, selamat, bersih, berwawasan lingkungan, terjangkau dan berkelanjutan,” terang Adi.
Adi juga menjelaskan bahwa pengembangan infrastruktur nuklir dilakukan dengan pendekatan milestone dan program Integrated Nuclear Infrastructure Review (INIR). Pendekatan tersebut bertujuan untuk membantu negara anggota International Atomic Energy Agency (IAEA) memahami komitmen dan kewajiban yang terkait dengan pengembangan program tenaga nuklir. Sedangkan negara yang sudah memiliki PLTN dapat mengevaluasi kesiapan mereka untuk pengembangan PLTN lebih lanjut.
“Untuk mengevaluasi kesiapan infrastruktur dilakukan melalui program integrated INIR – IAEA. Sebelumnya negara bersangkutan melakukan ‘swa evaluasi’ (self evaluation) pengembangan infrastruktur nuklir nasional (milestone dan phase),” lanjut Adi.
Menurutnya memanfaatkan jasa IAEA dalam program INIR akan membuka peluang untuk memantapkan posisi Indonesia dalam melaksanakan diplomasi energi di tingkat internasional, khususnya energi nuklir. (***)
*Humas BRIN, Badan Riset dan Inovasi Nasional