Berita

Kepala BMKG: Atasi Krisis Air Butuh Komitmen Kuat Antar Negara

Published

on

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati (Foto : @www.bmkg.go.id)

Bali, goindonesia.co – Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyebut butuh komitmen bersama yang kuat untuk mengatasi krisis air akibat perubahan iklim. Komitmen tersebut, kata dia, harus dilakukan seluruh negara tanpa terkecuali mengingat persoalan air menjadi ancaman serius bagi seluruh negara di dunia.

“Masalah air menjadi masalah seluruh negara. Semua terdampak sehingga setiap negara harus bekerja lebih cerdas dari apa yang sudah dilakukan sebelumnya untuk menghadapi laju perubahan iklim. Seperti mengintegrasikan ilmu pengetahuan dan teknologi ke dalam proses politik dan juga regional tanpa mengabaikan kearifan lokal setiap negara,” ungkap Dwikorita dalam High Level Panel bertajuk Bandung Spirit di agenda World Water Forum (WWF) di Bali, Kamis (23/5).

Dwikorita memaparkan sejumlah fakta perubahan iklim, diantaranya yaitu bahwa berdasarkan data analisis peta global menunjukkan bahwa debit rata-rata air sungai pada tahun 2022 yang dikategorikan pada posisi normal hanya 38%. Sementara itu banyak debit air sugai yang keluar menuju laut berada pada level di bawah normal atau jauh di bawah normal yang artinya daerah tersebut mengalami kekeringan. Di lain sisi, lanjut dia, terdapat daerah di dunia yang memiliki debit air sungai melampaui normal atau surplus sedang terjadi kebanjiran.

Dwikorita menyebut perubahan iklim mencakup berbagai aspek, termasuk peningkatan suhu global, perubahan pola curah hujan, kenaikan permukaan air laut, serta dampaknya terhadap lingkungan dan manusia. Apabila penanganan persoalan ini tidak disertai komitmen politik yang kuat, maka dampaknya akan sangat besar karena dapat memicu terjadinya konflik yang berimplikasi terhadap stabilitas ekonomi, politik, dan keamanan.

“Tentunya kami berharap, dengan *Bandung Spirit atau Spirit Kerjasama (Gotong Royong) yang terbangun sejak Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955 tersebut dapat secara lebih dahsyat mendorong komitmen politik seluruh negara, untuk mengatasi krisis air global secara bersama-sama. Komitmen politik tersebut harus juga disertai tindakan politik yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa mengabaikan kearifan lokal,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Dwikorita mengajak seluruh peserta untuk belajar dari apa yang telah dilakukan oleh The Intergovernmental Oceanographic Commission (IOC) UNESCO. Di mana selama 20 tahun telah berhasil mengatasi ketakutan akan bahaya tsunami yang dapat melanda setiap negara. Hal tersebut dapat tercapai karena adanya upaya integrasi sains dan teknologi ke dalam proses politik dan regional. Mekanisme ini dianggap relevan dan kerjasama holistic seluruh pihak akan membuat isu-isu iklim dan krisis air dapat dicari solusinya sehingga menghasilkan sebuah upaya bersama di setiap negara.

Dwikorita menegaskan, dalam menghadapi tsunami tentunya tidak boleh melupakan kearifan lokal di setiap daerah dan negara. Ia berharap, dengan pendekatan di dalam pemerintahan dapat menjadi pendorong yang lebih kuat untuk negara-negara anggota dalam menindaklanjuti segala kebijakan yang telah dibuat demi kepentingan bersama.

“Sementara itu, bagaimana dengan di luar pemerintahan? Kami menyarankan agar penempatan pusat-pusat keunggulan di setiap wilayah benar-benar dapat dipertimbangkan lebih lanjut seperti apa yang telah dijelaskan oleh seruan kami dari Afrika. Jadi sebenarnya pendirian ini bukanlah pusat baru, ini berperan sebagai “aliansi” dari pusat-pusat yang sudah ada, sehingga hanya koordinasi di antara pusat-pusat yang sudah ada agar lebih sinergis dan efektif langkahnya,” pungkasnya. (***)

*Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika

Trending

Exit mobile version