Berita

Jakarta, Kota yang Rentan terhadap Perubahan Iklim

Published

on

Infografis osilasi iklim daerah Rorotan (Foto : @brin.go.id)

Jakarta, goindonesia.co :  Jakarta merupakan kota yang rentan terhadap perubahan iklim karena kondisi geografisnya. Hal ini karena wilayah Jakarta yang terletak di pinggir pantai, yang memiliki muara sungai-sungai besar dan berdampak besar pada perubahan. Menurut Agus Heri Purnomo, Periset senior dari Pusat Riset Masyarakat dan Budaya (PRMB) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), perubahan iklim atau dengan kata lain osilasi iklim ini masih menjadi bahan perdebatan.

Dia mengulasnya dalam Forum Diskusi Budaya (FDB) seri ke 76, yang rutin diselenggarakan PRMB BRIN dan kali ini membahas topik dalam meninjau kembali strategi adaptasi perubahan iklim masyarakat pesisir Jakarta, pada Senin (27/05)

Agus mengatakan, dalam menghadapi hal tersebut, masyarakat pesisir harus menyiasatinya dari dampak-dampak yang ada. Sayangnya, adaptasi yang mereka lakukan ada yang berhasil akan tetapi sebagian besar tidak berhasil atau kurang efektif. Menurutnya, perlu ada intervensi dari pemerintah.

”Konsep dari pemerintah, seperti perbaikan saluran-saluran pembuangan banjir dan juga upaya reboisasi yang sudah dilakukan masyarakat pun tidak cukup. Masih ada masalah-masalah yang harus dihadapi dan hal inilah yang perlu diperbaiki,” ungkapnya.

Menurutnya, osilasi bisa saja terjadi pada periode 100 atau 200 tahun. Dampaknya, misalnya intrusi air garam atau laut, kekeringan berkepanjangan, banjir yang disebabkan oleh hujan atau pasang air laut. Contohnya di daerah Rorotan atau Marunda, pada 2007 tergenang sampai berhari-hari dengan ketinggian 70-80 cm.

“Kalau banjir yang terjadi sekira 1-3 jam sudah surut, namun beda dengan yang terjadi di Rorotan atau Marunda yang tergantung di mana manusia berdiam. Hal itu baik dari banjir karena hujan atau rob yang masyarakatnya harus dievakuasi,” ulasnya.

Agus mengatakan, semua itu tergantung dari seberapa manfaat adaptasi yang dilakukan oleh pemerintah, dan seberapa besar dampak yang diterima. Kemudian Agus menjelaskan analisis dampaknya.

“Dampak dari segi kesehatan di antaranya diare, DBD, sakit perut, dan sebagainya. Untuk itu mereka melakukan adaptasi dengan membuat palang di pintu. Caranya dengan menyedot air menggunakan pompa pembuangan, dan lain-lain.  Kami meriset apa yang mereka lakukan, pikirkan, dan rencanakan untuk saat ini dan akan datang, seperti evakuasi, menggali saluran air, dan membersihkan saluran,” imbuhnya.

Ia juga menganalisis terhadap apa yang mereka lakukan, tetapi tidak cukup dan tidak efektif. Agus juga menjelaskan cara pemerintah melakukan intervensi untuk sejumlah proyek, seperti penggalian sungai atau normalisasi sungai. Kemudian peninggian jalan, serta sosialisasi yang relevan agar masyarakat saat menghadapi perubahan iklim akan lebih siap.

“Masyarakat membutuhkan sistem peringatan, seperti meninggikan tanggul-tanggul. Contoh aksi lainnya, yakni pemerintah diharapkan dapat meringankan harga BBM. Mendekatkan tempat BBM dengan mereka, juga pelatihan pengolahan kerang hijau yang diolah menjadi bata,” tegasnya.

Agus menyampaikan, masyarakat juga mengusulkan teknologi RO (Reverse Osmosis), dan pembatasan operasi untuk tidak dekat dengan pantai. ”Maka perlu adanya komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat untuk penanggulangan banjir,” tuturnya.

Sementara itu Widodo Setiyo Pranowo, Peneliti Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN, sebagai pembahas mengatakan, riset ini masih sangat penting karena perubahan iklim masih hangat dalam pembahasan. Baginya, cukup banyak dibahas antara adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

Widodo menyoroti tentang istilah revisit (berkunjung kembali) atau dikenal dengan istilah bernostalgia dari data lama yang dikumpulkan kembali. Menurutnya, data yang digunakan dalam riset tersebut merupakan data lama tetapi masih relevan untuk dapat dilihat kembali, khususnya dari sisi perubahan iklim. Dari sisi pandangnya, kerentanan yang terlihat di sekitar Jakarta sangat tinggi. Ada banyak bangunan pantai, serta adanya kemiringan pantai dari yang rendah, sedang, sampai tinggi.

“Setelah melihat kemiringan pantai, bisa dilihat lagi data yang lain yakni tunggang pasang surut atau perbedaan dari muka laut yang tinggi dan yang paling rendah. Tunggang pasang surut yang ada di teluk Jakarta adalah sedang. Dengan tunggang yang semakin panjang, akan menghasilkan gradien dari elevasi dengan menghasilkan arus yang kuat,” ungkapnya.

Hal itu, menurutnya, ada indikator pasang surut per tahun yakni 0,85 – 0,879 meter, dilihat dari gelombang teluk Jakarta yang tingginya mencapai 40 cm. Sehingga, perubahan garis pantai yang tinggi maupun sedang cukup bervariasi. Sepanjang pantura teluk Jakarta sebelah barat indeksnya rendah, sedangkan di posisi tengah termasuk rendah sampai sedang. Selanjutnya dari tengah menuju timur semakin tinggi.

Kepala PRMB, Lilis Mulyani dalam sambutannya menyampaikan, kegiatan FDB merupakan media yang menjadi tanggung jawab riset BRIN kepada publik. FDB ini sebagai ujung tombak dari pusat risetnya yang langsung bertemu dengan masyarakat luas, baik di lingkup akademisi, lembaga riset lainnya, serta masyarakat pada umumnya.

“Saya berharap, kegiatan ini bisa menjadi jembatan dan sekaligus rujukan dalam bentuk aktivitas ilmiah di bidang sosial dan kemanusian pada level khususnya nasional. Tentunya diharapkan juga meningkat ke level internasional. Dengan semakin intensnya kegiatan forum ini, maka akan menghasilkan diskusi-diskusi yang menjadi sumber pengetahuan sehingga lahir gagasan baru,” pungkasnya.  (***)

*BRIN, Badan Riset dan Inovasi Nasional

Trending

Exit mobile version