Rapat konsinyering untuk meninjau konsep, kurikulum, dan sosialisasi Pesantren Lansia Birrul Walidain yang diadakan Komisi Perempuan, Remaja, dan Keluarga (KPRK) Majelis Ulama Indonesia (MUI) (Foto : @mui.or.id)
Jakarta, goindonesia.co – Komisi Perempuan, Remaja, dan Keluarga (KPRK) Majelis Ulama Indonesia (MUI) menggelar rapat konsinyering untuk meninjau konsep, kurikulum, dan sosialisasi Pesantren Lansia Birrul Walidain.
Kegiatan yang berlangsung, Rabu (7/8/2024) ini dihadiri berbagai pemangku kepentingan, termasuk Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama RI, Basnang Said.
Dalam pemaparannya, Basnang menekankan pentingnya pembentukan pesantren lansia yang tidak hanya memperhatikan aspek substansi tetapi juga legalitas.
“Semua orang akan kembali ke kejadian semula. Ketika kita masih anak-anak kita diasuh dengan baik, tetapi kalau anak merawat orang tua harus pamrih,” ujarnya.
Basnang juga menjelaskan beberapa poin penting mengenai pesantren lansia yang akan didirikan. Pesantren ini harus memiliki sarana dan prasarana yang memadai, termasuk asrama, tempat tinggal, serta tempat ibadah yang representatif.
Selain itu, dia mengingatkan dokumen cinta NKRI dan toleransi terhadap siapapun harus menjadi bagian dari arkanul ma’had (pilar pesantren). Semangat kemandirian dan keikhlasan juga harus dijunjung tinggi dalam pengelolaan pesantren ini.
Sedangkan kurikulum yang diterapkan di pesantren lansia harus mencakup pendidikan formal dan nonformal. Untuk pendidikan formal, pesantren dapat memilih antara pendidikan diniyah formal, mu’adalah, atau mahad ali.
Sementara itu, pendidikan nonformal dapat dibagi menjadi dua, yaitu berjenjang dan tidak berjenjang.
Pendidikan berjenjang akan fokus pada penguatan ilmu kitab, sementara pendidikan tidak berjenjang akan lebih menekankan pada ilmu yang mendekatkan kepada Allah SWT.
“Jika tidak ada ilmu umum, yang penting adalah ilmu substansial, seperti ilmu akidah, sifat wajib 20, dan sifat jaiz Allah,” tambah Basnang Said.
Dia menjelaskan, pesantren juga harus memastikan kemampuan jamaah dalam hal akidah dan membaca Alquran. Jika jamaah memiliki amaliyah NU, misalnya, mereka bisa diproyeksikan untuk mengikuti tarekat seperti Naqsabandiyah atau Syadziliyah dengan mendatangkan mursyid yang kompeten.
Tidak hanya aspek pendidikan, kesejahteraan ekonomi santri juga menjadi perhatian. Pesantren lansia harus mengakomodasi santri dari berbagai latar belakang ekonomi, baik yang mapan maupun kurang mampu.
“Santri yang mapan bisa menjadi muzakki (pemberi zakat) untuk membantu yang kurang mampu,” jelas Basnang Said. Pesantren ini diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang inklusif dan mendukung bagi semua santri.
Nama “Birrul Walidain” dipilih untuk pesantren lansia ini. Makna Birrul Walidain adalah berbuat baik kepada orang tua, yang diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi anak-anak untuk merawat orang tua mereka dengan penuh kasih sayang dan tanggung jawab.
Pesantren Lansia Birrul Walidain merupakan inisiatif yang sangat positif dalam upaya meningkatkan kualitas hidup lansia di Indonesia. Dengan konsep dan kurikulum yang komprehensif, serta dukungan dari berbagai pihak, pesantren ini diharapkan dapat menjadi model bagi pesantren lainnya dalam memberikan perhatian khusus kepada lansia.
“Perlu ada assessment kepada peserta santri, siapa tahu ada yang sudah ikut tarekat, yang menunjukkan pentingnya pemetaan dan penilaian kebutuhan santri secara menyeluruh” (***)
*MUI – Majelis Ulama Indonesia