Jakarta, goindonesia.co – Masjid Agung Sunda Kelapa kembali menggelar Dialog Ekslusif “Islam: Kemodernan dan Keindonesiaan. Kali ini doktor muda lulusan UCLA, Zezen Zainal Mutaqin, diundang menjadi narasumber. Dialog kali ini mengangkat tema Tantangan Pembaruan Hukum Islam di Indonesia. Menurut Zezen, MASK dapat menjadi hub untuk mempertemukan pemikiran dalam khazanah pemikiran Islam. Seperti di era 1970-1990 ketika wacana pembaruan Islam tumbuh subur di tanah pertiwi Indonesia.
Menurut Ang Zen, sapaan akrabnya, dalam pemikiran Cak Nur, Gus Dur, Dawam Rahardjo dkk, tidak banyak membahas sharia sebagai salah satu topik dalam agenda pembaruan wacana keislaman. Porsi pembaruan wacana keislaman didominasi oleh obrolan-obrolan seputar teologi, tasawuf, dan falsafah. Sementara fiqih atau kajian hukum Islam klasik banyak dilewatkan.
“Mungkin karena mereka bukan alumni fakultas syariah, jadi wajar kalo elaborasi terkait pemikiran progresif bidang fiqih dan hukum Islam dibahas dengan porsi yang sedikit” pungkasnya. Dahulu ada sosok Prof. Ibrahim Hosen yang kerap menjadi inspirasi baginya sebagai masiswa yang belajar hukum Islam. “Prof. Ibrahim itu menentang program SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) Orde Baru, beliau suka bikin jengkel Orba soalnya setiap debat sama ahli hukum lain, yang menyokong Orba, kalah terus sama beliau” kenangnya.
Dosen yang mengajar di Indonesian International Islamic University (IIIU) itu menawarkan wacana pembaruan Islam jilid II. Yang menjadikan fiqih dan sharia sebagai topik bahasan yang mendasarinya. Karena pembaruan Islam di sektor fiqih dan sharia kerap luput dari pandangan para pembaru Islam di Indonesia. Padahal implementasi dari wacana pembaruan Islam dapat diukur dari seberapa progresifnya produk hukum Islam yang mampu menjawab berbagai tantangan zaman.
“Apakah Ang Zen mau melalukan pemurnian dalam kajian fiqih dan sharia?” tanya Arief Rosyid Hasan sebagai moderator. Menurut Ang Zen, bukan hal tersebut yang hendak ia capai, namun upaya merekonstruksi hukum Islam di dalam konteks hukum dunia. Karena pasca kolonialisme yang menjangkiti berbagai negara Timur yang dihuni oleh masyarakat Muslim, hukum Islam sudah lenyap. Yang eksis sekarang adalah hukum Islam yang wadahnya merupakan paradigmatik hukum Eropa. Sehingga hukum Islam tak lebih dari sekadar ornamen penghias konstruksi epistimologi hukum Eropa, dalam kasus Indonesia adalah bukum Belanda.
Semangat pembangunan IIIU adalah untuk menjadikan Indonesia sebagai subjek dari kemajuan pemikiran Islam, bukan lagi objek. Itulah mengapa Ang Zen merasa perlu untuk melakukan pembaruan Islam jilid II. “Saya tidak rela jika hukum Islam dikerangkeng, didorong seolah-olah telah diakomodir oleh hukum yang kita gunakan saat ini” ungkapnya. Saat ini yang terpenting adalah membangun diskursus epistemik fiqih dan sharia di lingkungan hukum Islam di Indonesia. Sehingga inti dari kaidah fiqih dan sharia digunakan secara utuh bukan sekadar tempelan semata. (***)