BRIN bersama RIKEN Nishina Center menggelar inspiring lecture bertajuk “Physics and Chemistry of Superheavy Elements”, di Kawasan Sains dan Teknologi B.J. Habibie, Serpong (Foto : @brin.go.id)
Tangerang Selatan, goindonesia.co – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bersama RIKEN Nishina Center menggelar inspiring lecture bertajuk “Physics and Chemistry of Superheavy Elements”, di Kawasan Sains dan Teknologi B.J. Habibie, Serpong, Rabu (21/2). Upaya ini dilakukan untuk meningkatkan kompetensi periset di bidang ketenaganukliran, khususnya teknologi akselerator.
Kepala Organisasi Riset Tenaga Nuklir BRIN Rohadi Awaludin berharap, kegiatan ini dapat meningkatkan revitalisasi reaktor riset dan memaksimalkan pemanfaatan akselerator untuk berbagai bidang. “Saat ini sudah banyak pemanfaatan teknologi akselerator di berbagai belahan dunia, sehingga Indonesia perlu meningkatkan pemanfaatan teknologi akselerator,” ujarnya.
Ia menyampaikan, saat ini Indonesia memiliki reaktor riset dengan daya 30 MW, serta beberapa akselerator dan siklotron. “Namun pemanfaatan akselerator masih untuk produksi radionuklida. Oleh karena itu, kegiatan ini penting dalam upaya meningkatkan pemanfaatan fasilitas siklotron, bukan hanya untuk produksi radionuklida,” harap Rohadi.
Pada kesempatan ini, Director of Nuclear Chemistry Group RIKEN Nishina Center for Accelerator – Based Science, Japan Hiromitsu Haba, memaparkan tentang Sintesis dan Kimia Unsur Super Berat. “Untuk menghasilkan unsur berat maka diperlukan akselerator ion berat. Semua nuklida unsur berat disintesis oleh reaktor nuklir fusi,” ujarnya.
Unsur Super Berat merupakan unsur kimia yang memiliki nomor atom lebih besar dari 103. Unsur Super Berat pada tabel periodik terdapat pada unsur dengan nomor atom 104 sampai dengan 118, yaitu Rf, Db, Sg, Bh, Hs, Mt, Ds, Rg, Cn, Nh, Fl, Mc, Lv, Ts, dan Og.
Hiromitsu juga menjelaskan dua cara untuk sintesis unsur baru, yaitu dengan reaksi fusi dingin dan reaksi fusi panas. “Reaksi fusi dingin untuk unsur 107 sampai dengan 113, sementara reaksi fusi panas untuk unsur 114 sampai dengan 118,” jelasnya.
“Dalam memproduksi sintesis unsur berat, RIKEN memanfaatkan akselerator, gas cell, gas jet, dan juga siklotron,” tambahnya.
Sementara itu, lecturer dari RIKEN Nishina Center Hideki Ueno menyampaikan pemanfaatan spektroskopi nuklir pancaran radioisotop yang dihentikan atau diperlambat. “Untuk menghentikan atau memperlambat pancaran radioisotop maka dibutuhkan energi yang sangat tinggi,” paparnya.
“Pancaran radioisotop yang dihentikan atau diperlambat dapat dimanfaatkan dalam penelitian dan pengembangan spin-oriented Radioactive-Isotope Beams serta aplikasinya, nuclear laser spectroscopy, dan juga ilmu material dengan radioisotop ion berat,” imbuh Hideki.
Hideki menerangkan, radioisotop dapat diproduksi dengan reaksi penangkapan neutron/proton dengan menggunakan akselerator. Ada dua cara utama untuk produksi pancaran radioisotop, yaitu dengan cara Isotope Separation On-Line (ISOL) dan In-Flight.
“Terdapat perbedaan dari kedua cara produksi pancaran radioisotop. Pada ISOL dapat memberikan hasil produksi yang tinggi meskipun prosesnya lama dan memiliki keterbatasan unsur kimia aktif. Sedangkan In-Flight yaitu menggunakan Fast Fragmentation, tidak memiliki batasan waktu paruh dan sifat atom atau unsur kimia sehingga jauh dari kestabilan,” jelasnya.
Problem Limbah Radioaktif dan Solusinya
Sementara narasumber lainnya, yaitu Hideaki Otsu, Leader RIKEN Nishina Center, menjelaskan bahwa limbah nuklir mempunyai produk fisi umur panjang (FP) dan aktinoid minor (MA). “Dalam hal pembuangan geologis, limbah nuklir memiliki potensi risiko selama sepuluh ribu tahun,” ungkapnya.
Ia juga memaparkan data aktivitas nuklir terkait masalah limbah nuklir. “Permasalahan limbah nuklir berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) komersial dan dari bahan bakar bekas nuklir. Di Jepang hingga akhir tahun 2007 terdapat 19.000 ton logam berat dalam tahap pemrosesan ulang,” paparnya.
Hideaki juga menyampaikan bahwa bahan bakar bekas hasil bahan bakar reaktor yang sudah digunakan dapat dilimbahkan ataupun diproses kembali menjadi bahan bakar baru, tergantung dengan kebijakan bahan bakar di masing-masing negara. Kedepannya, penelitian dan pengembangan di bidang kenukliran akan meminimalisir risiko unsur radioaktif. (***)
*Humas BRIN, Badan Riset dan Inovasi Nasional