Berita

Berikut Tantangan dan Strategi Pemerintah Capai Target Penerimaan Pajak 2025

Published

on

Kementerian Keuangan (Foto : @www.kemenkeu.go.id)

Jakarta, goindonesia.co – Kepala Subdirektorat Pengelolaan Penerimaan Pajak Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Muchamad Arifin melaporkan bahwa kinerja penerimaan pajak dalam 10 tahun terakhir relatif sangat baik. Meskipun sempat mengalami perlambatan antara tahun 2014-2019, namun ditahun 2021-2023 penerimaan pajak bertumbuh sangat baik ditopang oleh pemulihan ekonomi, kenaikan harga komoditas, dan bauran kebijakan pajak. Pada tahun 2022, penerimaan pajak mengalami pertumbuhan tertinggi hingga mencapai 115,6%. 

“Di tahun 2021 kita bisa mencapai pertumbuhan dengan capaian 104% dan di 2023 rasio pajak juga bertumbuh menjadi 8,9%,” ungkapnya dalam acara Media Gathering APBN 2025, yang diselenggarakan di Anyer, Banten, pada Kamis (26/09). 

Namun pada tahun 2024, pencapaian target penerimaan pajak kembali menghadapi tekanan yang cukup besar akibat dampak dari penurunan harga komoditas dan peningkatan restitusi. Sampai dengan Agustus 2024, penerimaan pajak mencapai Rp 1.196,54 triliun atau 60,16% dari APBN 2024, ditopang oleh penerimaan bruto PPN & PPnBM yang mencatatkan kinerja positif, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang terjaga. Dimana secara bruto, penerimaan pajak masih berada pada zona positif.

“Karena memang ada kebetulan komoditasnya lagi boom sampai dengan tahun 2023, yang kemudian berpengaruh ke 2024,” ungkapnya. 

Selanjutnya, Muchamad Arifin juga menyampaikan proyeksi penerimaan pajak di tahun 2025. Ia mengungkapkan bahwa tahun 2025 penerimaan pajak ditargetkan sebesar Rp 2.189,3 triliun, atau tumbuh 13,9% dari outlook 2024. Menurut Arifin, pertumbuhan pajak pada 2025 akan ditopang oleh pertumbuhan penerimaan PPh nonmigas, serta PPN & PPnBM.

Namun, untuk mencapai target penerimaan di tahun 2025 juga memiliki tantangan yang tidak mudah. Arifin memaparkan, tantangan tersebut diantaranya berupa proyeksi ekonomi global yang masih relatif stagnan, moderasi harga komoditas, hingga pergeseran sektor manufaktur ke sektor jasa yang mendorong meningkatnya sektor informal sehingga belum sepenuhnya tertangkap pada sistem perpajakan. 

“Yang ketiga adalah perubahan aktivitas ekonomi yang tadinya konvensional menjadi digital. Ini tentu saja membutuhkan peregeseran cara pemungutan pajak yang baru karena relatif lebih sulit dibandingkan dengan ekonomi konvensional,” tutur Arifin. 

Dengan begitu, diperlukan kebijakan perpajakan yang diarahkan untuk mengoptimalisasi penerimaan pajak, salah satunya dengan melakukan perluasan basis pajak melalui intensifikasi dan ekstensifikasi, mendorong tingkat kepatuhan melalui pemanfaatan teknologi sistem perpajakan, memperkuat sinergi, melakukan joint program, penegakan hukum, memberikan insentif perpajakan, serta mendorong penguatan organisasi dan SDM.

“Penerimaan pajak tidak terlepas dari bauran kebijakan yang nantinya akan mendorong investasi, mendorong sektor-sektor yang akan memberikan value added tinggi yang mendukung perkembangan ekonomi, mendukung daya saing, dunia usaha dan kualitas SDM, meningkatkan iklim investasi, kemudian mendorong penerapan tenaga kerja dan menunjang akselerasi pengembangan ekonomi hijau,” tutupnya. (***)

*Kementerian Keuangan Republik Indonesia

Trending

Exit mobile version