Perjanjian Kerjasama Pengembangan dan Penerapan teknologi alat penahan ombak (APO) semipermeable hex brick berbasis pemanfaatan limbah plastik tidak bernilai jual upaya membantu rehabilitasi mangrove di Demak (Foto : @www.brin.go.id)
Cibinong, goindonesia.co. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Riset Biomassa dan Bioproduk (PRBB) bersama Yayasan Bakau Manfaat Universal (BAKAU-MU) mengembangkan dan menerapkan teknologi alat penahan ombak (APO) semipermeable hex brick berbasis pemanfaatan limbah plastik tidak bernilai jual. Hal ini sebagai upaya membantu rehabilitasi mangrove di Demak.
Kepala PRBB BRIN Akbar Hanif Dawam Abdullah menyampaikan, Kabupaten Demak merupakan salah satu daerah yang terkena dampak ekstrem atas fenomena abrasi dan banjir rob. Salah satu usaha yang sudah dilakukan adalah dengan penanaman mangrove.
Namun, penanaman mangrove akan menjadi sia-sia jika bibit yang ditanam terhempas energi gelombang air laut yang terlalu kuat. “Salah satu strategi bentuk pengendalian abrasi penahan gelombang yaitu perlu pemasangan APO, yang juga dapat menangkap sedimentasi karena turbulensi yang terbentuk di sekitar APO,” katanya, di Gedung iLaB, Kawasan Sains dan Teknologi Soekarno, Cibinong, Jumat (22/3).
Peneliti Pusat Riset Oseanografi BRIN Yaya Ihya Ulumuddin mengatakan, kegiatan ini diawali dengan kajian rehabilitasi mangrove di pesisir. Dibutuhkan semacam pelindung dari gelombang untuk mangrove yang ditanam.
“Karena mangrove tidak akan tumbuh jika terkendala oleh gelombang air laut, sehingga kita mencoba membuat pelindung tersebut dari sampah plastik,” ungkap Yaya.
Karena itu, ada suatu kebutuhan untuk melakukan restorasi atau memperbaiki ekosistem mangrove.
Menurut Yaya, di beberapa tempat, tidak mudah melakukan restorasi, karena lahan yang sudah tidak ada mangrove sama sekali atau sangat jarang. Sehingga, perlu membuat pelindung untuk mangrove yang baru ditanam.
Rusaknya mangrove telah mengubah kondisi lahan, sehingga mangrove tidak bisa pulih dengan sendirinya. “Lokasi seperti ini memerlukan sedikit rekayasa agar kondisi yang tidak mendukung menjadi mendukung,” tambah Yaya.
Salah satunya adalah membuat pelindung atau lebih dikenal di kalangan pegiat mangrove sebagai alat pemecah ombak.
“Munculah ide menggunakan limbah plastik sebagai bahan pembuat APO. Sebagaimana sifatnya, plastik tahan lama dan mudah didapat. Namun, di sisi lain ada pertanyaan, apakah plastik itu akan luruh lagi ke lingkungan dan menjadi mikroplastik yang akan mencemari laut?” ungkap Yaya.
Dirinya mengatakan, dari publikasi-publikasi yang ada, diketahui sudah banyak pemanfaatan sampah plastik, antara lain sebagai bahan bangunan seperti bata atau genting yang sudah komersial. “Ini bisa menjadi peluang kita tanpa meng-copy paste, tetapi fokus dengan kebutuhan nyata di lapangan,” tegasnya.
Kerja sama ini, lanjut Yaya, bukan merupakan implementasi yang sudah siap pakai, tetapi masih berproses sebagai pilot project. Karena ada berbagai uji yang harus dilakukan, sementara produk dibuat dan diimplementasikan di lapangan.
“Uji-uji lain terus dilakukan seperti apakah terjadi peluruhan berupa mikroplastik, bagaimana pengaruhnya terhadap biota, perubahan hidrologinya seperti apa, dan lain-lain,” katanya.
Kegiatan ini akan digarap selama tiga tahun, pada 2024 hingga 2026. Harapannya dari kegiatan ini didapatkan satu teknologi yang lengkap.
Lebih lanjut Yaya menerangkan, beberapa peneliti atau LSM juga sudah pernah membuat APO yang berasal dari kayu, bambu, ban bekas, dan beton berupa gorong-gorong yang disusun, sehingga dapat berfungsi meredam energi gelombang.
Namun, tantangan menggunakan material kayu atau bambu adalah kalah dengan biota laut. Dalam setahun sudah bisa hancur.
“Padahal, secara ekologis atau lingkungan, material tersebut paling bagus, karena merupakan material alam, dan secara hidrologis baik karena dapat melewatkan air dan menangkap sedimen dengan baik. Proses perangkapan sedimen ini yang diperlukan oleh mangrove untuk bisa tumbuh,” jelasnya.
Ada juga APO dari beton, dengan kelebihan terletak dari konstruksinya yang tahan hingga sepuluh tahun. Sehingga, mampu lebih banyak mereduksi kekuatan gelombang laut. Tetapi tantangannya pada biaya pembangunan yang sangat mahal dan kurang diminati karena menggunakan bahan semen.
Sebagai informasi, di pantai utara Jawa, fenomena abrasi dan banjir rob menimbulkan banyak kerugian ekonomi dan sosial. Strategi pengendalian abrasi dan banjir rob perlu dilakukan untuk mengurangi kerusakan lingkungan yang terus meluas.
Berdasarkan penelitian dari Climate Central, wilayah Pantai Indah Kapuk, sebagian wilayah Tangerang, Citarum, dan Karawang akan terdampak abrasi dan banjir rob. Fenomena ini terjadi juga di wilayah Jawa Tengah, seperti Klampok, Brebes, Sigedang, lalu sebagian besar wilayah Demak, Wedung, hingga Pati.
Ketua Yayasan BAKAU-MU l Muhammad Nasir mengungkapkan, permasalahan ini menjadi tantangan. Karena pihaknya berhadapan langsung dengan masyarakat, juga mitra yang mendukung dan membiayai proses di lapangan.
“Untuk itu, kami banyak bertanya dengan teman-teman di BRIN. Dengan berbagai macam hasil riset di lapangan, kami yakin untuk menyampaikannya ke mitra, pemerintah daerah, dan masyarakat.” tandasnya. (***)
*Humas BRIN, Badan Riset dan Inovasi Nasional