Penyerahan Sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) kepada Rumah Sakit Fatmawati dan Rumah Sakit Kariadi disaksikan oleh Menteri Kesehatan (Menkes) Republik Indonesia Budi Gunadi Sadikin dan Plt. Kepala BPOM L. Rizka Andalucia (Foto : @sehatnegeriku.kemkes.go.id)
Jakarta, goindonesia.co – Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terus gencarkan implementasi transformasi kesehatan, termasuk mendorong ketahanan sektor kefarmasian dalam negeri melalui pemenuhan fraksionasi plasma yang dibutuhkan untuk memproduksi produk obat derivat plasma (PODP) yang selama ini masih bergantung pada impor.
Fraksionasi plasma adalah pemilahan plasma dari hasil pengolahan darah termasuk darah donor. Plasma yang dihasilkan untuk fraksionasi untuk kemudian diolah menjadi PODP seperti albumin, Intravenous immuniglobulin (IVIg) dan faktor VIII yang digunakan dalam berbagai pengobatan.
Pertama, Albumin digunakan untuk mengobati atau mencegah syok pada pasien dengan luka parah, sakit parah, sepsis, pasien penyakit hati yang berat, pendarahan, operasi atau terbakar.
Pada kondisi tersebut, pemberian infus albumin diperlukan untuk meningkatkan kadar albumin di dalam darah. Sehingga keseimbangan cairan di dalam tubuh akan membaik dan pasien bisa pulih.
Selain itu albumin diberikan sebagai pengobatan gagal hati akut, penyakit kuning pada bayi baru lahir (hiperbilirubinemia neonatal), atau pasien sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS).
Kedua, intravenous Immunoglobulin (IVig) digunakan untuk penanganan terhadap berbagai kondisi imunodefisiensi dan sejumlah kondisi lainnya yang berkaitan dengan lemahnya pertahanan tubuh seperti pada kondisi autoimun, infeksi, dan inflamasi, salah satunya digunakan saat penanganan kasus COVID berat.
Ketiga, faktor VIII untuk pengobatan terhadap pasien hemofilia (kelainan pembekuan darah), digunakan mendukung pembentukan bekuan darah yang normal dan mencegah pendarahan berlebih.
Kebutuhan albumin sebagai salah satu produk obat derivat plasma di Indonesia terus meningkat dari sekitar 464 ribu vial di tahun 2019 menjadi 781 ribu vial di tahun 2023, dimana untuk memproduksinya diperlukan sekitar 650 ribu liter plasma.
Pemenuhan kebutuhan plasma untuk fraksionasi harus diperoleh dari bank plasma atau Unit pengelola darah (UPD) yang telah memenuhi standar CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) sebagai jaminan mutu atas plasma yang dihasilkan. Semakin banyak UPD yang telah memenuhi standar CPOB diharapkan dapat memenuhi kebutuhan plasma sebagai bahan baku produk obat derivat plasma, dan pada akhirnya akan mengurangi ketergantungan Indonesia pada impor produk fraksionasi plasma.
Dengan diserahkannya Sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) kepada dua rumah sakit, yaitu Rumah Sakit Fatmawati dan Rumah Sakit Kariadi, maka kedua rumah sakit tersebut diharapkan dapat meningkatkan volume plasma untuk kebutuhan dalam negeri.
Penyerahan sertifikat tersebut disaksikan oleh Menteri Kesehatan (Menkes) Republik Indonesia Budi Gunadi Sadikin dan Plt. Kepala BPOM L. Rizka Andalucia pada Senin (1/7/2024).
Sertifikat CPOB untuk UPD RSUP Fatmawati dan RSUP Dr. Kariadi terbit pada tanggal 2 Juni dan 30 Juni 2024. Dengan penambahan ini, terdapat total tiga UPD RS yang tersertifikasi CPOB, sehingga total terdapat 22 UPD tersertifikasi CPOB di Indonesia dan memenuhi persyaratan untuk mensuplai plasma untuk fraksionasi.
Sebagai rumah sakit percontohan yang ditunjuk oleh Kemenkes pada 2009, Unit Pengelola Darah (UPD) Rumah Sakit Fatmawati, yang sebelumnya dikenal sebagai Unit Transfusi Darah (UTD), telah mendapatkan perizinan sebagai UPD kelas madya dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pembentukan UPD bertujuan memenuhi kebutuhan darah di rumah sakit sebagai salah satu modalitas terapi bagi pasien.
Dalam sambutannya, Menkes Budi menyampaikan target agar dalam satu tahun ini seluruh rumah sakit vertikal, yang berjumlah 33, dan RSUD provinsi bisa mendapat sertifikat CPOB. Selain itu, rumah sakit tingkat kabupaten/kota minimal dapat mengumpulkan darah secara mandiri.
“BPOM jangan bangga dulu, ini kita masih ada sisa 30 rumah sakit, kita targetkan dalam satu tahun ini semoga semua rumah sakit vertikal yang berjumlah 33 sudah dapat CPOB,” kata Menteri Budi.
Menkes Budi melanjutkan, saat ini kebutuhan darah mencapai 5,2 juta kantong, tetapi hanya tersedia 4,2 juta kantong, sehingga masih terdapat kekurangan 1 juta kantong. Kebutuhan plasma mencapai 350 ribu liter, dan baru dapat terpenuhi sebanyak 145 ribu liter.
“Jadi kita usahakan semua rumah sakit vertikal sudah dapat CPOB dari BPOM dan itu juga harus menjadi targetnya BPOM, BPOM jangan nunggu aja dong, harus jemput bola,” kata Menkes Budi.
Menkes Budi menutup sambutannya dengan memberikan apresiasi dan ucapan selamat kepada dua rumah sakit yang baru saja menerima sertifikat CPOB UPD.
Dalam sambutannya, Plt. Kepala BPOM L. Rizka Andalucia menyampaikan, penerapan Good Manufacturing Practices (GMP) dalam pengolahan darah sangatlah penting. Hal ini untuk menjamin mutu, kualitas, dan keamanan produk darah yang akan ditransfusikan kepada pasien maupun plasma yang akan diolah menjadi bahan baku obat derivat plasma.
“Jadi, penting sekali jaminan mutu di setiap tahapan. Nah, RSUP Fatmawati, RSUP Kariadi, RSUP Sardjito telah menerapkan ini dan didukung oleh sistem informasi yang baik,” ujar Rizka
Rizka menjelaskan proses tahapan yang perlu dilalui untuk mendapatkan sertifikasi GMP dan menekankan pentingnya penerapan GMP di UPD.
“Supaya kita tahu pendonornya siapa, back-nya yang mana. Kita tahu sampai nanti jadi bahan bakunya disimpan sekitar dua tahun sebelum diproduksi plasmanya itu,” kata Rizka.
Direktur RSUP Fatmawati Dr. Mohammad Syahril mengatakan, dengan sertifikasi CPOB, jenis layanan di UPD RSUP Fatmawati terjamin aman dan bermutu. RSUP Fatmawati juga dapat meningkatkan layanannya, yakni memproduksi dan memisahkan plasma yang akan diolah lebih lanjut menjadi albumin.
“Produksi albumin lokal sangat penting mengingat saat ini Indonesia masih mengimpor albumin dari luar negeri. Produksi albumin lokal melalui CPOB UPD RS dapat membantu mengurangi ketergantungan pada impor dan meningkatkan ketahanan kesehatan nasional,” kata Dirut Dr. Mohammad Syahril.
Dr. Syahril berharap UPD RS Fatmawati dapat terus meningkatkan produksinya. Tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan internal RSUP Fatmawati, tetapi juga dapat bekerja sama dengan rumah sakit lain dalam memenuhi kebutuhan darah dan bekerja sama dengan perusahaan untuk memproduksi plasma yang diolah menjadi albumin.
Penyerahan sertifikat CPOB ini dilaksanakan di RSUP Fatmawati pada Senin (1/7/2024). Pada kegiatan ini juga diresmikan gedung Cancer Center yang diharapkan dapat meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan kanker dalam rangka transformasi layanan rujukan di RSUP Fatmawati. (***)
*Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik, Kementerian Kesehatan RI.