Connect with us

Health

Cara Membaca CT Value Hasil Tes PCR

Published

on

Photo : Istimewa

Jakarta , goindonesia.co — Munculnya pandemi Covid-19 yang melanda seluruh dunia disertai sederet istilah ilmiah yang mungkin membingungkan bagi orang awam. Ada polymerase chain reaction alias PCR yang merupakan metode tes untuk menentukan apakah seseorang terinfeksi virus corona atau tidak. Lalu ada pula CT value yang biasanya tertulis dalam surat hasil tes PCR.

Angka yang tertera dalam CT value sempat menimbulkan keriuhan di media sosial. Ada kabar simpang siur yang menyebutkan soal kriteria nilai CT dalam penentuan kesembuhan pasien dan hasil positif tes PCR. Kabar itu kemudian diluruskan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Mengenal CT Value

Nilai CT (cycle threshold) adalah nilai yang muncul pada titik dimana reaksi mencapai intensitas florosensi melampui batas ukuran yang telah ditentukan. Nilai CT menunjukkan kapan target asam nukleat terdeteksi dalam proses amplifikasi (perbanyakan salinan materi genetik)

CT value adalah nilai yang muncul dalam tes PCR. CT singkatan dari cycle threshold yang merupakan satu siklus amplifikasi dalam tes PCR. Tes PCR dengan reverse transcription (RT)—juga sering disebut real time/RT-PCR—sendiri telah menjadi standar emas untuk mendeteksi virus corona SARS-CoV-2 penyebab Covid-19. Dalam tes RT-PCR, asam ribonukleat (RNA) diekstraksi dari sampel pasien yang diambil dengan usapan (swab). (SARAN HAPUS)

RNA ini kemudian diubah menjadi DNA, lantas diamplifikasi. Amplifikasi di sini mengacu pada proses pembuatan salinan materi genetik DNA. Lewat proses ini, tes RT-PCR lebih mampu mendeteksi keberadaan virus dalam tubuh manusia. Amplifikasi terjadi lewat serangkaian siklus (dari satu salinan menjadi dua, dua menjadi empat, dan seterusnya). Setelah beberapa kali siklus, jumlah virus akan terdeteksi. (SARAN HAPUS)

Sederhananya, CT value bisa dikatakan sebagai jumlah siklus dalam deteksi virus. Makin rendah nilai CT, kemungkinan besar makin tinggi pula viral load alias jumlah virus dalam tubuh. Begitu pula sebaliknya. Meski demikian, nilai CT bukanlah acuan dalam menentukan hasil tes positif atau negatif.(SARAN HAPUS)

Tes RT-PCR menunjukkan hasil positif bila ditemukan materi genetik virus corona dari sampel yang diambil lewat swab. Sedangkan hasil tes negatif jika tak ada virus dalam pemeriksaan sampel itu. Nilai CT juga bukan satu-satunya penentu untuk tingkat keparahan, kemampuan penularan, atau kriteria sembuh pasien Covid.

Cara Membaca Angka CT Value

CT value punya peran penting dalam hasil tes PCR. Namun standar angka CT berbeda-beda, tergantung mesin PCR yang digunakan. Mesin PCR berhenti bekerja tatkala virus terdeteksi. Umumnya, batas angka itu sebesar 40. Cara membaca angka nilai CT adalah:

  • <29: positif kuat (jumlah virus banyak)
  • 30-37: positif (jumlah virus sedang)
  • 38-40: positif lemah (jumlah virus sedikit)

Jumlah virus dalam pembacaan CT value ini bersifat perkiraan. Belum ada standar menghitung jumlah virus dari tes PCR secara pasti. Rendahnya angka nilai CT juga tidak menandakan parahnya sakit yang diderita pasien. (HOAX)!!

Nilai CT tidak menunjukkan berapa banyak virus yang ada, tetapi hanya menunjukkan apakah materi genetik virus terdeteksi pada ambang batas yang telah ditentukan oleh mesin.

Nilai CT dihasilkan saat menguji spesimen pasien. Nilai CT ditafsirkan sebagai positif atau negatif tetapi tidak dapat digunakan untuk menentukan berapa banyak virus yang ada dalam spesimen setiap individu pasien.

Masih harus dilakukan beragam pemeriksaan untuk memastikan kondisi pasien yang positif Covid, seperti pemeriksaan fisik, radiologi, tes darah, dan tes lain yang dibutuhkan sesuai dengan kondisi pasien. Tapi dokter dapat menggunakan angka CT untuk menetapkan tindakan dan perawatan pasien, misalnya apakah pasien bisa menjalani isolasi mandiri atau harus dirawat di rumah sakit.

Berapa Angka CT Value yang Berbahaya?

Nilai CT tidak boleh digunakan untuk menentukan viral load pasien, atau seberapa besar risiko menularkan virus, atau kapan seseorang dapat dibebaskan dari isolasi atau karantina.

Tes PCR menggunakan beberapa siklus amplifikasi berulang untuk membuat lebih banyak salinan materi genetik virus. Spesimen dengan jumlah virus yang lebih rendah akan membutuhkan lebih banyak siklus untuk mengamplifikasi materi genetik tersebut untuk mencapai jumlah yang dapat dideteksi, sehingga menghasilkan nilai CT yang lebih tinggi. Sehingga hasil nilai CT tersebut hanya berkorelasi dengan jumlah materi genetik virus yang ada dalam sampel, bukan dalam tubuh.

Seperti disebutkan sebelumnya, CT value bukanlah penentu mutlak tingkat keparahan penyakit yang dialami pasien Covid-19. Namun, dengan gagasan dasar bahwa makin rendah angka CT menandakan makin banyak konsentrasi materi genetik virus, bisa dikatakan bahwa angka CT yang berbahaya adalah yang rendah.

Misalnya CT value seseorang dalam hasil tes sebesar 25. Sedangkan angka CT orang lain 35. Berarti ancaman bahaya lebih besar pada orang dengan angka 25 itu. Walau begitu, angka yang lebih besar tidak lantas membuat orang tersebut aman-aman saja.

Bila tes PCR menemukan virus, entah dalam siklus berapa pun, berarti masih ada jejak virus corona di situ. Diperlukan pemeriksaan lebih lanjut oleh dokter untuk memastikan tingkat bahaya yang mengancam pasien.

Apakah Nilai CT Pada Tes PCR Menentukan Kesembuhan Pasien Covid-19

Kabar burung yang beredar di tengah pandemi menyebutkan nilai CT menentukan apakah seorang pasien Covid sudah sembuh atau belum. Kabar itu keliru karena kriteria sembuh pasien tidak ditentukan oleh nilai CT. Bahkan hasil tes PCR sudah tidak wajib menjadi penentu kesembuhan pasien tanpa gejala.

Dalam menentukan kesembuhan pasien, dokter perlu memeriksa kondisi pasien untuk mengecek gejala seusai masa isolasi, termasuk lewat rontgen dan tes darah. Bagi pasien tanpa gejala, batas masa isolasi adalah 10 hari. Sedangkan pasien dengan gejala ringan hingga sedang 10 hari plus 3 hari. Adapun pasien bergejala berat masih butuh tes PCR seusai masa isolasi.

Kapan Pasien Membutuhkan Perawatan di Rumah Sakit?

Terlepas dari berapa pun angka CT value yang tertera dalam hasil tes PCR, pasien mesti langsung menjalani isolasi jika hasilnya positif. Untuk menentukan apakah pasien perlu dirawat di rumah sakit, akan dilihat gejala yang muncul pada pasien.

Pasien membutuhkan perawatan di rumah sakit bila nilai CT rendah disertai gejala berat. Terutama kadar oksigen yang rendah. Juga bila ada penyakit penyerta alias komorbid.

Kriteria Pasien yang Diperbolehkan Isoman?

Sementara itu, pasien boleh menjalani isolasi mandiri bila tak ada gejala atau hanya ada gejala ringan-sedang. CT value tidak dijadikan kriteria boleh-tidaknya seorang pasien menjalani isoman. Menurut aturan dari Kementerian Kesehatan, selain soal gejala, pasien boleh isoman bila memenuhi sejumlah kriteria, antara lain:

  • Tinggal di ruangan terpisah dari anggota keluarga lain
  • Menggunakan perabot terpisah
  • Tidak ada orang yang tergolong kelompok rentan tinggal serumah

Hanya dokter yang berwenang menentukan pasien boleh menjalani isolasi mandiri atau tidak. (***)

Ditinjau oleh:

dr. Muhammad Irhamsyah, Sp.PK, M.Kes , Dokter Spesialis Patologi Klinik , Primaya Hospital Bekasi Timur

Referensi:

Real Time PCR Ct Values https://www.wvdl.wisc.edu/wp-content/uploads/2013/01/WVDL.Info_.PCR_Ct_Values1.pdf

One number could help reveal how infectious a COVID-19 patient is. Should test results include it? https://www.sciencemag.org/news/2020/09/one-number-could-help-reveal-how-infectious-covid-19-patient-should-test-results

Mengenal CT Value, Apa Hubungannya dengan Banyak Virus Korona? https://amari.itb.ac.id/mengenal-ct-value-apa-hubungannya-dengan-banyak-virus-korona/

Centers for DIsease Control adn Prevention (CDC). Interpreting Result of Diagnostic Tests. 2021. Diakses dari https://www/cdc/gov/coronavirus/2019-ncov/lab/faqs.html

Continue Reading
Advertisement Berita Vaksin Penting

Kesehatan

Kenali Gejala Jantung Sejak Dini

Published

on

Ilustrasi pasien penderita Gejala Jantung (Foto : @sehatnegeriku.kemkes.go.id)

Jakarta, goindonesia.co – Tingginya prevalensi penyakit kardiovaskular di Indonesia disebabkan oleh perubahan gaya hidup yang tidak sehat, seperti merokok, pola makan yang tidak seimbang, hipertensi, obesitas, diabetes melitus, dan kurangnya aktivitas fisik. Perilaku tersebut merupakan salah satu kontributor utama terjadinya penyakit jantung koroner (PJK). Dilaporkan, 50% penderita PJK berpotensi mengalami henti jantung mendadak atau sudden cardiac death.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) dr. Siti Nadia Tarmizi mengatakan, data Riskesdas pada 2018 menunjukkan prevalensi penyakit jantung berdasarkan diagnosis dokter di Indonesia sebesar 1,5%, sedangkan prevalensi penyakit jantung koroner sebesar 0,5% pada 2013. Berdasarkan Global Status Report on NCD 2019 (IHME), sebanyak 17,8 juta kematian, atau 1 dari 3 kematian di dunia setiap tahun, disebabkan oleh penyakit jantung.

“Kalau dari hasil IHME survei yang kita lihat bahwa penyakit jantung iskemik pada 2019 itu menempati urutan nomor satu dan pada 2021, pasca-COVID-19 pun masih menempati urutan nomor satu, hanya dari jumlah kematian terjadi penurunan sedikit, tapi perbedaannya tidak terlalu besar,” kata dr. Nadia pada temu media Hari Jantung Sedunia (HJS) pada Senin (23/9/2024).

dr. Nadia melanjutkan, secara global, penyakit jantung iskemik tetap menjadi penyebab utama kematian. Sementara di Indonesia, penyakit stroke menjadi penyebab kematian terbesar. Berdasarkan total kematian, terjadi penurunan jumlah kematian akibat stroke dari 21,8% pada 2019 menjadi 18,49% pada 2021, diikuti oleh penyakit jantung iskemik.

“Jadi, di Indonesia itu sebaliknya yang menjadi penyebab utama kematian justru adalah stroke dan bisa saja penyebabnya karena mungkin layanan kesehatan deteksinya belum betul-betul merata sehingga tidak terdeteksi dan masih menjadi salah satu isu,” lanjut dr. Nadia.

Pada 2023, terjadi peningkatan jumlah pembiayaan untuk penyakit katastropik yang mencapai Rp34,8 triliun, di mana penyakit kardiovaskular (jantung dan stroke) menjadi penyakit dengan pembiayaan terbesar, yakni Rp22,8 triliun, dalam program JKN.

Lebih lanjut, dr. Nadia menyebutkan empat perilaku masyarakat yang dapat meningkatkan risiko penyakit jantung, yaitu merokok, kurang aktivitas fisik, minim konsumsi buah dan sayur, serta konsumsi gula, garam, dan lemak secara berlebihan.

“Bisa dilihat penyakit jantung saat ini mulai banyak pada usia-usia muda. Kenapa terjadi pergeseran usia pada penyakit jantung? Karena adanya perubahan gaya hidup yang tidak sehat,” kata dia melanjutkan.

Penyakit jantung merupakan penyebab utama kematian di dunia selama 20 tahun terakhir. Kematian akibat penyakit jantung secara global mencapai hingga 18,6 juta setiap tahunnya. Angka kematian tersebut diperkirakan akan meningkat menjadi 20,5 juta pada 2020 dan 24,2 juta pada 2030.

President of Indonesian Heart Association dr. Radityo Prakoso, yang juga hadir sebagai narasumber dalam temu media HJS, menjelaskan bahwa penyakit jantung iskemik berkontribusi terhadap persentase kematian tertinggi di antara berbagai penyakit jantung. Selain itu, penyakit jantung tidak hanya ditemukan pada usia tua, tetapi juga pada usia muda.

“Gaya hidup tidak sehat menjadi penyebab paling umum dari penyakit jantung koroner di usia muda,” kata dr. Radityo.

Lebih lanjut, dr. Radityo menyebutkan beberapa gejala yang mengarah pada penyakit jantung, yaitu rasa tidak nyaman di area dada (nyeri, sesak, tertekan, terbakar); mual dan muntah; keringat dingin; pusing atau pingsan; nyeri yang menjalar ke lengan, rahang, tenggorokan, atau punggung; kaki bengkak; mudah lelah; berdebar-debar; detak jantung tidak teratur; serta batuk yang tidak kunjung sembuh dengan sputum berwarna pink muda atau putih berbusa.

“Kendati demikian, gejala tersebut dapat bervariasi antara individu. Segera periksakan diri Anda ke dokter apabila ada dugaan kuat penyakit jantung terutama jika memiliki risiko tinggi,” kata dr. Radityo.

dr. Radityo melanjutkan, 80% penyakit jantung dapat dicegah melalui pencegahan primer, yaitu promosi kesehatan dan proteksi spesifik, seperti berhenti merokok, makan makanan sehat, rutin beraktivitas fisik, menghindari konsumsi alkohol berlebihan, tidur yang cukup, dan menjaga berat badan tetap ideal.

Sementara itu, pencegahan sekunder dilakukan dengan deteksi dini dan tata laksana awal segera, seperti evaluasi tekanan darah, evaluasi kadar kolesterol, indeks massa tubuh (IMT), dan kadar gula darah secara rutin atau berkala.

Dr. Rita Ramayulis, selaku perwakilan dari Persatuan Ahli Gizi Indonesia yang juga hadir sebagai narasumber, menekankan pentingnya pengaturan konsumsi gula, garam, dan lemak (GGL). Konsumsi gula sebaiknya dibatasi hingga 50 gram per hari, garam 2.000 mg per hari, dan lemak 67 gram per hari.

“Kecukupan konsumsi gula dalam pembagian bahan makanan sehari menurut gizi seimbang untuk laki-laki usia 19-29 tahun dengan 2725 kkal,” kata Dr. Rita.

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI telah merumuskan beberapa strategi untuk mencegah dan mengendalikan penyakit jantung koroner dengan pendekatan PATUH dan CERDIK.

PATUH: Periksa kesehatan secara rutin dan mengikuti anjuran dokter; Atasi penyakit dengan pengobatan yang tepat dan teratur; Tetap diet dengan gizi seimbang; Upayakan aktivitas fisik dengan aman; Hindari asap rokok, alkohol, dan zat karsinogenik lainnya.

CERDIK: Cek kesehatan secara rutin, Enyahkan asap rokok, Rajin beraktivitas fisik, Diet sehat dengan kalori seimbang, Istirahat cukup, Kelola stres.

Kemenkes RI memperingati Hari Jantung Sedunia dengan menggelar temu media melalui Zoom Meeting pada Senin (23/9/2024). Temu media ini mengangkat tema global “Use Heart, For Action”, dan tema nasional “Ayo Bergerak untuk Sehatkan Jantungmu.” (***)

*Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik, Kementerian Kesehatan RI

Continue Reading

Kesehatan

Tidak Ada Efek Samping Akibat Vaksin COVID-19 di Indonesia

Published

on

Ilustrasi vaksin COVID-19 (Foto : @sehatnegeriku.kemkes.go.id)

Jakarta, goindonesia.co – Ketua Komisi Nasional Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (Komnas PP KIPI) Prof. Hinky Hindra Irawan Satari mengatakan, tidak ada kejadian sindrom trombosis dengan trombositopenia atau thrombosis with thrombocytopenia syndrome (TTS) setelah pemakaian vaksin COVID-19 AstraZeneca di Indonesia. Hal ini berdasarkan surveilans aktif dan pasif yang sampai saat ini masih dilakukan oleh Komnas KIPI.

“Keamanan dan manfaat sebuah vaksin sudah melalui berbagai tahapan uji klinis, mulaiuji klini tahap 1, 2, 3 dan 4 termasuk vaksin COVID-19 yang melibatkan jutaan orang, sampai dikeluarkannya izin edar. Dan pemantauan terhadap keamanan vaksin masih terus dilakukan setelah vaksin beredar” kata Prof Hinky.

Sesuai rekomendasi Badan Kesehatan Dunia (WHO), Komnas KIPI bersama Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan BPOM melakukan surveilans aktif terhadap berbagai macam gejala atau penyakit yang dicurigai ada keterkaitan dengan vaksin COVID-19 termasuk TTS. Survei dilakukan di 14 rumah sakit di 7 provinsi yang memenuhi kriteria selama lebih dari satu tahun.

“Selama setahun, bahkan lebih, kami amati dari Maret 2021 sampai Juli 2022. Kami lanjutkan lebih dari setahun karena tidak ada gejalanya, jadi kami lanjutkan beberapa bulan untuk juga supaya memenuhi kebutuhan jumlah sampel yang dibutuhkan untuk menyatakan ada atau tidak ada keterkaitan. Sampai kami perpanjang juga tidak ada TTS pada AstraZeneca,” jelas Prof Hinky.

“Jadi, kami melaporkan pada waktu itu tidak ada kasus TTS terkait vaksin COVID-19,” lanjut Prof Hinky.

Indonesia merupakan negara dengan peringkat keempat terbesar di dunia yang melakukan vaksinasi COVID-19. Sebanyak 453 juta dosis vaksin telah disuntikkan ke masyarakat Indonesia, dan 70 juta dosis di antaranya adalah vaksin AstraZeneca.

Setelah surveilans aktif selesai, Komnas KIPI tetap melakukan surveilans pasif hingga hari ini. Berdasarkan laporan yang masuk, tidak ditemukan laporan kasus TTS.

TTS merupakan penyakit yang menyebabkan penderita mengalami pembekuan darah serta trombosit darah yang rendah. Kasusnya sangat jarang terjadi di masyarakat, tapi bisa menyebabkan gejala yang serius.

“Kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) bila ditemukan penyakit atau gejala antara 4 sampai 42 hari setelah vaksin disuntikkan. Kalaupun saat ini ditemukan kasus TTS di Indonesia, ya pasti bukan karena vaksin COVID-19 karena sudah lewat rentang waktu kejadianya,” jelas Prof Hinky.

“Namanya trombosis, pembuluh darah membeku. Kalau terjadi di otak muncul gejala pusing, di saluran cerna mual, di kaki pegel. Kalau jumlah trombositnya menurun, ada perdarahan, biru biru di tempat suntikan, ya, itu terjadi, tapi 4-42 hari setelah vaksin. Kalau sekarang terjadi, ya, kemungkinan besar terjadi karena penyebab lain, bukan karena vaksin,” kata Prof Hinky.

Masyarakat juga masih bisa melaporkan kejadian ikutan pasca-imunisasi atau KIPI kepada Komnas KIPI melalui puskesmas terdekat. “Puskesmas sudah terlatih, akan dilakukan investigasi, anamnesis, dan rujukan ke RS untuk akhirnya dikaji Pokja KIPI dan dikeluarkan rekomendasi berdasarkan bukti yang ada,” jelasnya. (***)

*Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik, Kementerian Kesehatan RI

Continue Reading

Kesehatan

Cegah Kanker Serviks: Kolaborasi Bio Farma dan IHC RS Pelabuhan Cirebon Kenalkan CerviScan

Published

on

Grand launching deteksi Ca Cervix dengan Metode PCR HPV-DNA (Sampel Urine) & Vaksin Ca Cervix di Hotel Prima, Kota Cirebon (02/11). (Dokumentasi : @www.biofarma.co.id)

Cirebon, goindonesia.co – Bio Farma bersama IHC RS Pelabuhan Cirebon berkolaborasi cegah kanker serviks dengan memperkenalkan kit diagnostik deteksi dini melalui pemeriksaan urine dengan metode PCR HPV-DNA di Hotel Prima, Kota Cirebon. Acara tersebut bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran bahaya kanker serviks dan pentingnya melakukan deteksi dini. 

Direktur Medis dan Hubungan Kelembagaan Bio Farma, Sri Harsi Teteki mengatakan bahwa kanker serviks sangat berbahaya bagi perempuan karena sering ditemukan pada stadium lanjut sehingga pengobatannya terlambat.

“Kanker serviks sangat berbahaya bagi perempuan, seperti kita ketahui kanker serviks menempati urutan kedua terbanyak setelah kanker payudara. Kanker serviks sering kali ditemukan pada stadium lanjut karena tidak adanya gejala pada stadium awal kanker serviks.” ujar Sri Harsi Teteki.

“Sebab itu, pentingnya bagi perempuan untuk melakukan deteksi dini, karena Kanker serviks dapat terdeteksi dengan kita rutin melakukan deteksi dini, lebih awal ditemukan akan memberikan harapan hidup lebih baik.” tambahnya.

Wakil Wali Kota Cirebon, Dra. Hj. Eti Herawati, M.A.P. mengungkapkan dirinya sangat berterima kasih karena diagnostik kit ini memenuhi kebutuhan perempuan dalam melakukan deteksi dini dengan nyaman.

“Atas nama Pemerintah Kota Cirebon, saya mengucapkan terima kasih atas kolaborasi yang terjadi, diagnostik kit ini merupakan jawaban atas kebutuhan perempuan untuk melakukan deteksi dini dengan nyaman.” ungkap Eti Herawati.

“Saya juga berharap dengan adanya kit diagnostik ini kedepannya dapat meningkatkan kesadaran tentang bahaya kanker serviks dan pentingnya melakukan deteksi dini bagi masyarakat khususnya Cirebon.” tambah Eti.

Masih tingginya kasus kanker serviks di Indonesia disebabkan karena rendahnya kesadaran perempuan untuk melakukan deteksi dini dikarenakan merasa takut dan malu.

Kanker serviks juga termasuk penyakit yang disebut sebagai “Silent killer” karena tidak adanya gejala pada stadium awal kanker serviks. Hampir semua kasus kanker serviks (lebih dari 95%) disebabkan oleh infeksi human papillomavirus (HPV) risiko tinggi.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Cirebon, Dr. Hj. Siti Maria Listiawaty, MM mengatakan dengan adanya kit diagnostik yang lebih nyaman dan efektif ini dapat memberikan kesadaran bagi masyarakat dalam mencegah kanker serviks.

“Dengan adanya metode yang lebih efektif dan nyaman ini, saya berharap masyarakat akan lebih sadar tentang bahayanya kanker serviks, masyarakat juga tidak perlu takut dan malu lagi untuk melakukan pemeriksaan karena metode yang digunakan adalah mengambil sampel urine.” ungkap Siti Maria.

Karena itu, Maria berharap dengan alat deteksi dini terhadap Human Papillomavirus (HPV) penyebab kanker serviks yang dihadirkan Bio Farma, tidak ada lagi kendala melakukan deteksi dini karena lebih praktis dan nyaman. (***)

*Bio Farma, @www.biofarma.co.id

Continue Reading

Trending